10. Bapaknya Davindra

Start from the beginning
                                    

Adzan magrib berkumandang, Davindra sudah kembali ke dalam mobil dalam keadaan yang terlihat lebih tenang. Sepertinya air memberikan ketenangan untuk dirinya, terlihat jelas jejak-jejak air di wajah dan rambut hitamnya. Dia mengemudikan mobilnya lebih halus kali ini, setelah 30 menit barulah mobil itu sampai ke tower apartemen yang aku tinggali.

"Hubungi keluargamu, kita akan menikah secara sederhana minggu depan." Ucapnya dari dalam mobil setelah aku turun dari mobilnya.

"Hah?" tanyaku kaget.

"Tapi..." bantahku

"Saya sedang tidak ingin berdebat, hari ini terlalu banyak yang harus saya pikirkan jadi saya harap kamu tidak menambah beban pikiran saya." Ucap Davindra yang langsung menjalankan mobilnya pergi meninggalkanku yang masih berdiri terpaku.

"What the hell?" tanyaku kesal.

"Siapa dia berani sekali melakukan hal seenaknya padaku?" makiku kesal, tapi dalam hati.

'Dia orang yang menyelamatkanmu, memberimu tempat tinggal juga yang menghidupimu 2 minggu terakhir ini' jawab seseorang yang berada dipikiranku.

"Okay terserah." ucapku pada diriku sendiri.

Toh keputusan sudah diambil, meskipun hanya Davindra sendiri yang memutuskan. Aku berada diposisi yang membutuhkan bantuan, dan tentu saja cukup tahu diri untuk tidak melawan seseorang yang jelas telah membantuku. Cuti di rumah sakit yang aku ajukan tidak mungkin bisa berjalan selamanya, jika pada akhirnya aku menjadi pengangguran, menjadi nyonya dari seorang arsitek yang memiliki perusahaan dan menantu dari pemilik perusahaan perfilman, aku rasa bukan hal buruk. Mengingat latar belakang Davindra, tiba-tiba membuat jiwa matreku hidup sepertinya.

Baiklah, mari kita ambil sisi positifnya saja untuk saat ini. Menikahi Davindra bukanlah hal buruk. Kapan lagi mendapat suami good looking dengan kekayaan melimpah Kirana? Iya benar mari berpikir seperti itu saja. Lagipula menikah dengan Davindra juga bisa membantuku untuk menyembunyikan identitasku dengan Evelyn dalam waktu lama. Mari berdoa saja 3 orang pria yang mengejarku dan Evelyn lama-lama akan bosan dan melupakan kami. Setelah itu, barulah kita memikirkan jalan yang lain.

Aku terus mensugesti pikiranku dengan hal positif yang aku dapatkan dari pernikahan ini, terutama untuk Evelyn.

**********

Aku kembali menelpon nomor Adinda lagi pagi ini untuk kesekian kalinya, berharap Adinda menjawab teleponnya kali ini. Berulang kali aku melakukan panggilan tapi hasilnya selalu sama, selalu wanita operator yang menjawabnya dan mengatakan'nomor yang anda tuju berada di luar jangkauan' berulang kali. Aku juga menghubungi Maya teman bertugas Adinda di ruang bersalin menanyakan kabar Adinda tapi Maya bilang Adinda sudah lama tidak masuk kerja.

Entahlah aku merasa Adinda diluaran sana tidak baik-baik saja, mengingat semua media sosialnya tidak ada yang aktif satupun. Adinda itu tipe yang dikit-dikit cekrek, dikit-dikit upload, jadi tidak mungkin jika dia baik-baik saja karena lebih dari 2 minggu dia tidak pernah update kesehariannya di medsos.

Karena kekhawatiranku pada Adinda, akhirnya aku nekat untuk keluar dari apartemen ini untuk mendatangi Adinda di rumahnya. Aku mengenakan terusan bermotif bunga dengan hijab syar'i sampai menutupi pantatku. Aku menggendong baby Eve dengan gendongan depan yang aku beli tempo hari juga membawa semua kebutuhan baby Eve dalam tas berukuran lumayan besar yang aku temukan di lemari apartemen Davindra.

Sengaja aku memakai hijab syar'i biarpun sebenarnya aku tidak suka mengenakan hijab sepanjang ini. setidaknya dengan hijab ini aku bisa menyamarkan penampilanku jika berpapasan dengan 3 pria asing yang sedang memburuku. Dan kerudung besar inpun bisa digunakan untuk menutupi baby Eve agar tidak terkena sengatan matahari langsung.

Aku turun ke lobi apartemen tapi semua rencanaku harus berantakan ketika melihatnya disini. Dia berada disini dengan anak laki-laki kebanggaannya, berjalan memasuki lobi apartemen ini. Aku segera bersembunyi agar dia tidak melihatku dan kembali menaiki lift menuju lantai tempat apartemen yang aku tinggali berada.

"Bahkan setelah lebih dari 3 tahun, aku masih saja memilih lari daripada menemuinya. Kau yang membenci tapi kau juga yang tidak punya keberanian." Makiku pada diriku sendiri.

Aku memilih untuk kembali masuk ke apartemen, menidurkan baby Eve yang terlelap dan mengganti bajuku dengan pakaian yang lebih cocok untuk aku kenakan di rumah. Memilih menghabiskan waktu dengan menonton televisi yang tidak satupun acara yang menarik menurutku. Terkadang jika baby Eve tertidur pulas seperti sekarang ini, rasa rindu akan pekerjaan yang selalu membuatku sibuk datang, membuatku harus menghela nafas berulang agar rasa penyesalan dihatiku tidak terlalu besar.

Suara bel apartemen memecahkan keheningan apartemen, aku mengerutkan kening bingung. Siapa yang hendak bertamu ke apartemen ini? Aku melihat lewat intercom seorang pria berpakaian resmi dengan kantung belanjaan di kedua tangannya berdiri didepan pintu. Aku tidak mengenali pria itu, apa mungkin dia salah kamar? Pikirku.

Aku memilih membuka pintu dan menanyakan kepentingan pria itu.

"Maaf cari siapa yah?" tanyaku pada pria itu.

"Dengan ibu Kirana? Tanya pria itu.

"Iya saya sendiri." Ucapku.

"Ini kiriman dari Pak Davin untuk ibu." Ucap pria itu dan menyerahakna kantung belanja itu ke hadapanku.

"Ah terima kasih." Ucapku sambil menerimanya.

Pria itu langsung pamit setelah aku menerima kantung belanjaan dari tangannya, aku hanya mengangkat bahu tidak peduli dan berniat untuk masuk kedalam apartemen.

"Kirana?" panggil seseorang menghentikan langkahku.

Aku berbalik dan mendapati seseorang ah tidak maksudku dua orang, sedang memandang penuh tanya padaku. Aku melotot kaget melihat mereka berjarak beberapa langkah dari tempatku berdiri. Dari banyaknya lantai di tower apartemen ini, kenapa bisa mereka ada disini? Tanyaku dalam hati.

SCANDAL A Shocking AccidentWhere stories live. Discover now