{9} (bukan) jodoh pilihan Allah

1.3K 179 29
                                    

-o0o-
H A P P Y
R E A D I N G
-o0o-
.
.
.

Semua mata tertuju padaku. Seakan kata-kata yang aku ucapkan barusan seperti alarm panjang yang berdering nyaring. Bu Nyai, Pak Kyai dan Gus Aqmal sama-sama bungkam membisu. Aku menerawang bayangan Gus Aqmal jauh ke depan. Melihat luka yang membekas di sana, namun aku tidak mengeluarkan kata-kata selain siratan mata.

Bu Nyai menangis pilu di belakang tubuh Kyai Hasyim. Beliau sudah duduk sambil mengusap wajahnya kecewa. Pak Kyai masih menatapku dengan tatapan tajam, namun sendu. Sedangkan Gus Aqmal, dia sudah mengeluarkan air mata, untuk pertama kalinya aku melihat seorang Gus Aqmal menangis dan ini karena aku. Kurang ajar sekali diriku ini membuat orang yang seharusnya aku hormati menangis tepat di depan mataku.

Perlahan, aku mulai mendekat. Melangkahkan kaki menuju tempat di mana perdebatan ini berawal. Genap enam langkah, akhirnya aku berhenti. Tepat di depan tubuh tegap Kyai Hasyim, aku tersenyum manis.

"Abah."

Sunyi, tidak ada sahutan.

Aku menggigit bibir bawahku, menenangkan diri. Lantas aku kembali berucap, "Abah hebat sudah mendidik putra Abah menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Abah hebat sudah menanamkan sikap tegas dan patuh pada putra Abah. Bahkan saya sangat bangga mengetahui bahwa Putra Abah yang notabenenya Gus saya bersikeras untuk menepati janjinya pada saya."

"Saya sangat mengapresiasi usaha putra Abah dalam mempertahankan saya, saya merasa tersanjung atas kedudukan spesial yang diberikan putra Abah kepada saya. Namun sampai di sini saya sadar, bahwa posisi saya tidak bisa disetarakan dengan posisi njenengan. Saya hanya seorang santri ahwal yang masih membutuhkan ilmu dari Abah dan Ummi. Saya masih fakir ilmu tidak setara dengan Abah dan Ummi. Saya ini santriwati, sedangkan orang yang berjanji pada saya, beliau adalah Gus yang sepantasnya saya hormati juga hargai."

Kyai Hasyim mengepalkan tangannya hingga urat-uratnya menonjol. Wajahnya merah padam dengan tatapan tajam.

"Kamu tau, lantas mengapa kamu menerima janji putra saya? Bukankah kamu sadar posisimu apa dan siapa bagi keluarga saya?" Tanya Kyai Hasyim tajam, bak busur panah yang dilepaskan tepat mengenai sasaran.

Mataku memanas, ini bukan Kyai Hasyim yang aku kenal, ini bukan Abah yang selama ini menjadi panutanku. Ya Allah ya Rabb, hamba begitu lelah. Izinkan hamba berhenti berharap jika akan berakhir patahnya harapan hamba.

Aku memejamkan mata sebentar, sambil mengambil oksigen sebanyak-banyaknya.

"Abah benar, seharusnya saya sadar apa dan siapa saya bagi keluarga Abah. Saya hanya semut yang berada ditengah ratusan manusia, kecil dan tak terlihat. Untuk itu, saya ingin meminta maaf sebesar-besarnya atas kesalahan yang saya perbuat. Saya mengakui salah dan lalai dalam mengelola perasaan saya. Sepertinya kalimat 'cinta tidak tau di mana ia berlabuh' tidak berlaku di keluarga ini. Saya, Kanaya Aulia Najma, perempuan yang pernah diberi harapan oleh Putra Al Mukarom Kyai Hasyim Ar-Rasyid dan Bu Nyai Nur Fauziyah dengan ini menyatakan untuk mundur dan membebaskan Gus Muhammad Aqmal Ar-Rasyid untuk lepas dari janji yang pernah diberikan kepada saya beberapa waktu lalu."

Gus Aqmal mendudukkan dirinya di sofa sambil meraup wajahnya kasar, matanya sudah bengkak, wajahnya sendu. Penampilannya sudah tak karuan, rambut acak-acakan, kemeja lusuh, peci yang sudah tergeletak di atas meja. Sungguh, aku merasa asing ketika melihat Gus Aqmal seperti ini.

Jawaban Sepertiga Malam [Re-publish]Where stories live. Discover now