{19} Tulip putih

1.2K 166 25
                                    

-o0o-
H A P P Y
R E A D I N G
-o0o-
.
.
.

Masih sama seperti kemarin, hujan bercampur angin yang menggambarkan suasana hati dua keluarga yang masih setia menunggu di depan ICU.

Banyak di antaranya memilih duduk bersandar pada dinding sambil bersedekap dada memeluk tubuh mereka sendiri. Ada pula yang bermain ponsel sambil mengunyah camilan yang sengaja disediakan tante Dewi. Namun satu yang menjadi objek utamaku sejak tadi, pria berkaus abu-abu dan celana hitam yang berdiri tepat di depan jendela ICU. Kedua tangannya dimasukkan saku, sedangkan netranya fokus mengintip situasi di dalam ruangan.

Dua detik setelah aku memperhatikannya, dia berbalik badan. Otomatis pandanganku terkunci pada kedua netra coklat tajam miliknya. Tidak lama, sebelum akhirnya dia memilih beranjak dari sana. Suara langkahnya terdengar nyaring membelah koridor yang sepi. Entah dalam keadaan sadar atau tidak, aku perlahan bangkit dan mengikuti langkah lebarnya.

Bangunan ruko berjejer menjadi pemandangan yang aku lihat setelah mengikutinya tadi. Lalu aku menoleh ke sana ke mari, mencari sosoknya yang tiba-tiba hilang bak ditelan bumi.

"Kemana tadi? Bukannya ke sini?" cicitku pelan.

"Cari siapa?"

"Hah?"

Aku mengerjapkan mataku kaget, orang yang sejak tadi aku tunggu ternyata sedang duduk anteng sambil menyeruput kopi. Aku mendesis, sial sekali. Akhirnya aku ikut duduk berhadapan dengannya karena tidak ada lagi kursi yang kosong.

"Udah sarapan?" Suara serak basah itu membuatku spontan mendongak.

"Aku?"

"Memang saya sedang bicara dengan siapa?"

Aku celingak-celinguk, semua orang sibuk dengan aktivitasnya, "jadi anda bicara dengan saya?" tanyaku kikuk.

"Hm. Makan, ada nasi liwet." Tanpa menunggu persetujuanku, dia beranjak dari tempatnya lalu kembali sambil membawa satu piring yang bisa aku pastikan sebagai nasi liwet serta satu gelas teh hangat.

"Kalau mau nambah, bilang," pungkasnya. Aku hanya mampu ternganga melihat sifatnya yang sulit ditebak.

Setelah menimang-nimang, aku pun memilih menyantap nasi liwet yang sudah ia belikan, mubadzir jika dibuang.

"Acaranya sudah siap?"

Aku mengangkat kepalaku, mencoba mencerna pertanyaan yang baru saja dia lontarkan.

"Huh, maksudnya?"

"Acara pernikahanmu dan Azzam. Ada yang bisa saya bantu jika sekiranya ada kendala. Nanti biar saya hubungi wo yang sudah kamu percaya untuk mengatur acaramu. Oh iya, saya juga ada beberapa rekomendasi gedung yang cocok untuk resepsi kalau kamu tertarik nanti saya hubungi teman saya. Masalah sovenir, sudah beres? Atau mau saya bantu cari? Ada beberapa teman saya yang—"

"Gus, stop!" 

Diam. Keadaan mulai memanas, aktivitas makanku terhenti, begitupun dengan aktivitasnya bermain ponsel. Kami sama-sama menunduk.

"Saya hanya ingin membantu, Kanaya. Apa saya salah? Setidaknya, saya masih bisa menjadi bagian dalam acara yang akan kamu lakukan sekali seumur hidup."

Aku menggeleng, "tidak, njenengan tidak salah. Tidak ada yang salah di sini, Gus. Hanya saja, saya tidak ingin merepotkan njenengan. Lagipula, saya masih fokus pada pemulihan Kak Azzam. Harusnya njenengan sadar, bagaimana kondisi kesehatan Kak Azzam, apa mungkin acara dilaksanakan dalam waktu dekat? Saya hanya perlu doa restu njenengan, semoga semua dilancarkan."

Jawaban Sepertiga Malam [Re-publish]Where stories live. Discover now