{22} Versi terbaik

1.4K 157 35
                                    

-o0o-
H A P P Y
R E A D I N G
-o0o-
.
.
.
.

Sore ini, aku dan Gus Aqmal duduk di kursi balkon kamar. Memandang sinar mentari yang kian menjingga. Menatap salah satu kebesaran Allah yang ada di depan mata. Dunia seisinya seakan bersujud merdu kepada sang Rabbi. Menyeru shalawat kepada kekasih Allah, ya Baginda Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam. Sang rahmatan Lil alamiin. Yang mengubah kehidupan dzalim menuju zaman kejayaan Islam.

Tak ada satu detikpun peristiwa tanpa kehendak Allah ta'ala. Termasuk kejadian-kejadian yang mungkin tidak akan pernah bisa hilang dari ingatan.

"Allah itu baik ya, Gus," ucapku memecah keheningan.

Gus Aqmal menoleh, tangan kanannya meraih tangan kiriku, tak lupa dengan senyuman tipis yang sangat khas dari wajahnya.

"Iya, Allah itu maha baik." Aku tersenyum, sungguh aku tidak percaya yang kini menggenggam tanganku adalah Gus Aqmal.

"Gus, besok saya ikut khataman, ya. Bareng Ummi di Pondok Putri."

"Wisuda Tahfidz Qur'an bin nadhor angkatan dua puluh empat jadinya besok?" 

"Iya, kata Ummi begitu. Makanya saya pengen ikut, soalnya pernah ngerasain juga."

Gus Aqmal berdehem. "Ya sudah, asal tidak melipir ke mana-mana saya gak masalah."

"Emangnya saya mau ke mana? Cuma di pondok doang."

"Ya siapa tau kamu keluar sama mantan kamu, yang siapa itu? Paijo?"

Aku mencubit lengannya kuat, hingga dia sedikit meringis. "Bukan Paijo! Lagian itu juga masa lalu, jangan dibahas lagi ah!"

"Iya wes iya. Untuk hari ini, kamu muroja'ah sama saya, ya?"

"Malu Gus, mending sama Ummi."

"Tidak perlu malu untuk melakukan kebaikan, harusnya kamu malu ketika dengan sengaja melakukan kemaksiatan."

-o0o-

"Innaaa andzarnaakum 'adzaaban qoriibayyauma yangdzhurul mar u maa qoddamat yadaahu wa yaquulul kaafiru yaa laitanii kuntu turoobaa."

"Shadaqallahul'adzim," seru kami bersamaan.

Aku menatap netra Gus Aqmal yang masih saja diam di depanku sambil memegang mushaf kecilnya. Jeda beberapa detik, dia menutup mushafnya dan meletakkannya di atas meja belajar. Perlahan, dia berangsur mendekat.

"Alhamdulillah, hari ini juz tiga puluh kholas. Besok juz dua sembilan, ya?"

Aku mengangguk kecil, "iya."

"Sini deh, agak dekat. Saya mau bicara." Sambil menepuk karpet bulu di sampingnya.

Aku menurut, duduk tepat di samping Gus Aqmal. "Coba bacakan arti surah An-naba' ayat terakhir yang kamu baca tadi," perintahnya.

"Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu, orang kafir, azab yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, dan orang kafir berkata, 'Alangkah baiknya seandainya dahulu aku jadi tanah.' Benar begitu, Gus?"

Dia mengangguk. "Benar, kamu tau apa makna ayat itu?"

"Tentang hari pembalasan kan, Gus? Kelak di akhirat orang-orang yang berbuat baik menggunakan anggota tubuh mereka, maka mereka akan mendapat balasan atas apa yang mereka lakukan. Begitupun sebaliknya, ketika mereka menggunakan anggota tubuh mereka untuk berbuat maksiat maka kelak akan mendapat balasan yang pedih."

Jawaban Sepertiga Malam [Re-publish]Where stories live. Discover now