Chapter 3: Bakat dan ikatan Part 2

7.4K 305 16
                                    

Popularitas. Prestise. Keinginan untuk diakui. Itu hanyalah sebagian kecil dari faktor pendorong aktualisasi diri manusia. Mereka berkembang, membentuk kelompok, tak jarang sok menjadi raja. Pada umumnya, manusia lebih suka memerintah dibandingkan diperintah.

Hal itu tidak lepas dari yang namanya bakat. Kita bisa melakukan sesuatu jauh lebih baik daripada yang dilakukan orang lain. Namun terkadang, bakat tidak didapatkan oleh orang yang menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, orang yang menginginkannya kadang tidak memiliki bakat yang dimaksud, membuat orang-orang yang menginginkan bakat tersebut harus bekerja lebih keras.

Tak jarang beberapa empunya bakat membuang jauh-jauh bakat tersebut. Berniat untuk tidak terlalu mencolok di masyarakat. Membingungkan? Tidak juga.

Gadis itu, bernama Trista Zelinda. Seorang gadis SMA yang terbilang pintar dalam hal akademik. Sejak kelas satu, dia selalu menduduki peringkat pertama. Oh, aku pernah mendengar, posisi puncak itu terus ia dapatkan semenjak kelas satu SD. Seorang gadis cantik dengan segudang prestasi. Luar biasa, kan? Namun, ada satu hal yang tidak kusuka darinya.

Kata-katanya, berbisa. Dulu, saat upacara penerimaan murid baru, saat aku baru masuk ke sekolah ini, kebetulan aku berpapasan dengannya di dekat gerbang sekolah. Karena jarak sekolah yang terbilang luas, aku memberanikan diri untuk bertanya di mana letak aula utama. Dan kau tau apa jawabannya?

“Kau, murid baru? Seharusnya sebelum hari ini datang, lakukan observasi dulu. Jika sudah begini, kau sendiri yang repot. Dan orang lain juga mungkin akan repot. Ambil inisiatif, kau kan sudah menjadi murid SMA. Bukan anak mama yang maunya dimanja terus. Mau jadi apa? Ah, juga periksa kerapian pakaianmu. Jika seperti itu orang akan memanggilmu pemulung gang sebela-”

Dengan tampang innocent dia menceramahiku. Seingatku, kritikannya masih panjang lagi. Aku akui, semua kalimatnya tidaklah salah. Tetapi, mengatakan seperti itu, bukankah terlalu ... blak-blakan? Atau terlalu jujur? Ya, meskipun pada akhirnya dia memberi tau letak aulanya, tapi tetap saja.

Dan lagi, aku mesti berurusan dengan makhluk berjenis kelamin perempuan itu. Setelah melihat kejadian di lorong sekolah tadi, aku terus berpikir, bahwa dia sepertinya benar-benar bisa melihat sosok Verdammt. Meskipun kemungkinan itu tidak mencapai seratus persen.

Nyatanya, Verdammt tidak pernah bisa untuk mengobrol secara langsung dengannya. Entah itu karena dia malas meladeni atau alasan lain. Yang jelas, hal ini membuat insting penasaranku meningkat.

Mungkinkah dia mengalami nasib serupa denganku? Jika benar demikian, akan ada titik terang untuk meneliti apa penyebab manusia bisa melihat sosok semacam Verdammt, selain faktor ketidakberuntungan. Dan juga, mungkin kami bisa saling berbagi solusi. Itu andai kata aku bisa akrab dengannya.

Sekarang, aku berada di tengah kota. Berbaur dengan kumpulan manusia di trotoar jalan. Alat transportasi melintasi jalanan. Tidak banyak, namun tetap saja, sebagian kecil udara tercemar oleh secuil asap pembuangan dari beberapa kendaraan versi lama. Ya, pada kenyataannya, tidak semua orang menggunakan kendaraan super ramah lingkungan, entah itu karena harga yang terbilang lebih mahal ataupun masalah bahan bakar. Benar-benar sok hemat.

Pemerintah sudah membatasi penggunaan kendaraan pribadi, dan mengalihkannya dengan meningkatkan kualitas dari transportasi umum. Selain mengurangi kemacetan, hal itu juga membatasi pencemaran dan mendukung program go green. Dan benar saja, sebagian besar masyarakat sudah melakukan hal tersebut dengan asas kesadaran pribadi. Mereka tidak membeli maupun memakai kendaraan pribadi secara berlebihan.

Bangunan pencakar langit berjejer. Layar lebar terpampang di beberapa bagian. Menayangkan acara tertentu. Di antara bangunan itu, dominan terlihat toko-toko, yang mana sekitar 10% warga di negara ini merupakan seorang wirausahawan.

Lonely GhostWhere stories live. Discover now