Epilog

4.6K 300 39
                                    

Dunia memang dipenuhi hal-hal yang tidak terduga. Impian, angan-angan, harapan, cita-cita, hanyalah polesan dari motivasi untuk menjalani kehidupan. Dan terkadang, semua itu terkabulkan dengan cara yang tidak diduga. Karena Tuhan adalah pemilik skenario yang begitu sempurna.

Seperti kata orang, pengalaman adalah guru terbaik. Tidak ada satu pun buku yang memberikan ilmu sebaik dan seindah pengalaman. Namun tak jarang, manusia tidak mengambil sedikit pun pelajaran dari peristiwa yang telah ia lalui.

Dunia ini begitu luas, tapi juga terasa begitu sempit. Di luaran sana, banyak sekali orang-orang yang mengerang di kala menghadapi cobaan. Meski tak ada satu pun cobaan yang melebihi kemampuan diri sang insan. Hanya saja, mayoritas manusia mengira kalau mereka adalah insan paling menderita di seluruh muka bumi, padahal cuma terluka tipis.

Perubahan kecil pada suatu persepsi akan merubah seluruh kehidupanmu. Entah darimana aku mendengar ungkapan tersebut. Tapi yang jelas, kalimat itu seolah-olah menyinggahi  benak ini. Membentuk secercah memori baru.

Trista pernah berkata padaku, bahwa bakat adalah satu persen ilham dan sembilan puluh sembilan persen kerja keras. Karena itulah, dia sangat menghargai usaha yang dilakukan manusia, meski keberhasilan bukanlah hasil akhir.

Aisha pernah mengatakan padaku, bahwa senyum adalah jarak yang terdekat antara dua manusia. Dengan tersenyum, kau mampu menciptakan ikatan positif. Ya ... meskipun dia jarang tersenyum kepadaku. Namun dia selalu mengembangkan polesan elok itu di parasnya tatkala berjumpa dengan orang selain aku. Walaupun yang pasti, aku sudah merasa nyaman dengan pola hubungan kami saat ini.

Sudah tiba waktunya untuk membuka mata.

Aku terlalu sering terpenjara oleh sikap atau paradigma negatif yang aku ciptakan sendiri.

Kali ini, aku tidak akan lari lagi.

Dengan langkah santai, aku menyusuri gang, hingga sampai di depan rumahku. Lagi-lagi, aku mendapat tugas tambahan dari guru yang menyebabkan aku pulang agak sore.

Tapi ... ya sudahlah. Mengeluh juga tidak akan mengembalikan tenaga. Yang ada malah makin capek.

Perlahan aku memasukkan kunci, memainkannya guna membuka pintu, lalu masuk ke dalam ruangan.

Sepi.

Spontan aku melirik ke bawah.

Tidak ada sepatu lain.

Tunggu dulu. Ada apa denganku? Mereka tidak akan datang lagi! Verdammt sudah pergi. Jadi tak ada alasan bagi trio aneh untuk menguasai rumahku.

Benar.

Semuanya kembali normal.

Dengan aku yang sendirian di rumah ini.

Kehidupan masa muda, aku datang!

Itulah yang harusnya aku teriakkan.

Ya. Seharusnya aku berucap demikian, kan?

Aku melepas kedua sepatu menggunakan ujung kaki, kemudian meletakkannya sembarang. Aku beranjak, mendekati pintu ruangan utama dan membukanya. Setelah i—

"...."

Setelah itu, aku melihat sosok menyerupai Rico, Paco, dan Erica yang sedang memasang gaya aneh dengan sepatu terpasang di kedua telapak tangan mereka. Mereka mematung sembari menatapku heran.

Ah, ini pasti hanya ilusi. Aku menutup pintu, lalu menghela napas. Mencoba menenangkan diri. Tugas tambahan tadi mungkin membuat delusi ini kambuh. Setelah merasa cukup, aku membuka pintu. Tapi yang aku dapat adalah si trio aneh dengan gaya yang masih sama seperti sebelumnya.

Ini ... bukan fatamorgana atau semacamnya?

"Selamat datang, Kak Ramon."

"Yo, Ramon."

"KENAPA KALIAN ADA DI SINI?!" teriakku lepas sembari menunjuk-nunjuk mereka yang akhirnya bergaya layaknya manusia normal.

"Ah, ini? Kami sedang main ajak sepatu. Siapa yang tidak tahan, dia kalah."

"Bukan itu pertanyaanku!? Lagipula, permainan macam apa itu!?"

"Mau ikut juga, ya? Ya sudah. Ambil sepatumu."

"Bukan itu masalahnya!! Akh!!"

Aku mengelus pelipisku. Mengatur tempo pernapasan seraya berujar dengan nada lebih tenang.

"Bukannya Verdammt sudah pergi? Kenapa kalian masih menyusup ke sini?"

"Ah, kami baru saja membicarakan hal ini. Dan kata Leader, tempat ini telah resmi menjadi markas kami," jawab Paco dengan wajah innocent.

"Oi oi, jangan memutuskan seenaknya."

"Sebentar lagi kan ujian. Mumpung Trista sedang baik hati, jadi kita akan belajar bersama di sini," ujar Rico yang juga menunjukkan wajah tak berdosa.

"Baik hati? Itu karena kalian yang terlalu memaksaku."

Tiba-tiba, suara seseorang datang dari arah sampingku. Nada sarkasnya begitu khas. Kau tidak perlu menoleh ke arahnya untuk mengetahui siapa dia yang sepertinya baru saja keluar dari toilet.

"Jangan begitu dong, Kak Tris. Kakak kan masih menguasai pelajaran di kelas satu. Ini saling tolong menolong dalam kebaikan loh! Oh iya, Aisha sedang menuju ke sini," timpal Erica.

Tempat ini masih saja ramai. Aku mengepalkan kedua tangan, lalu menghirup udara kuat-kuat. Namun kali ini, aku tidak berteriak. Melainkan berusaha untuk lebih menenangkan diri.

"Tch. Ya sudahlah. Ajari aku juga ya."

"Males ah."

Trista menimpali dan sontak mengundang gelak tawa dari trio aneh. Aku hanya tersenyum menyaksikannya. Merasakan aroma nostalgia penuh kehangatan. Spontan aku menoleh ke sudut ruangan. Aku tersenyum. Padahal di sana tidak ada siapa maupun apa pun yang menarik perhatian.

Hanya saja, entah kenapa, aku merasa Verdammt masih berada di rumah ini. Tawa ala bocahnya. Celetukan menyebalkannya. Sentuhan pencipta gidikkan khasnya. Bahkan wajah polos memuakkannya. Karena jejak kehidupannya akan terus terukir di hatiku, di hati kami semua.

Terima kasih, Verdammt.

Selamat tinggal.

Sampai berjumpa lagi.

Lonely GhostWhere stories live. Discover now