Chapter 7: Gadis di Senja Hari Part 2

4.3K 262 47
                                    

Aku akan selalu memilih orang yang pemalas untuk melakukan pekerjaan sulit. Karena dia akan mencari cara termudah untuk melakukannya.[1]

Itu adalah kutipan dari buku yang barusan aku baca di perpustakaan sekolah. Jika dipahami secara tekstual, mungkin akan banyak orang yang menjadi rajin untuk menghindari pekerjaan berat. Atau bisa saja orang-orang akan bersikap malas supaya dikira mampu mengerjakan pekerjaan sulit.

Aneh? Ya. Aku juga berpikiran demikian. Tapi semuanya terjawab pada kalimat selanjutnya.

Be Lazy. Think crazy.

Jika kau adalah seorang pemalas, paling tidak persiapkan dirimu untuk memikirkan hal-hal segila mungkin. Semua teknologi yang manusia buat sekarang muncul dari rasa mau-enaknya-aja. Menyebabkan mereka berpikir keras supaya kehidupan ini menjadi lebih mudah, nyaman, dan tidak mengeluarkan tenaga berlebih.

Dengan kata lain, modern sama dengan memalaskan diri.

Hanya pendapat pribadi. Tidak setuju? Abaikan.

Sebagai hukuman karena sudah terlambat, aku diceramahi dan disuruh membantu menyusun buku, sekaligus bersih-bersih di perpustakaan saat jam istirahat. Bahkan ketika pulang sekolah pun disuruh begitu. Dan di situlah aku tidak sengaja membaca kutipan tersebut. Kalau menyangkut masalah baca membaca, entah kenapa rasa malasku terkikis. Dengan catatan, berlaku untuk buku tertentu.

Hari ini aku tidak terlalu banyak berbincang dengan Rico. Begitu pula dengan Trista yang nampaknya sudah mulai mendapatkan kehidupan sosialnya. Beberapa orang siswi memintanya untuk membantu mereka belajar karena sebentar lagi akan ada ujian. Dan Trista yang biasanya cuek malah menerima permintaan tersebut dengan berat /ralat/ sepertinya senang hati.

Gadis berhati dingin itu belakangan ini agak berubah. Aku merasa auranya mulai memutih dibandingkan saat pertama kali kami bertemu. Begitu pula dengan Aisha. Kami masih bersikap ala rival-rivalan seperti biasa. Hanya saja, ada sesuatu yang berbeda. Entah perasaanku saja, atau memang aku terasa jadi lebih akrab dengannya.

Ah, aku jadi tidak sempat bilang kalau Verdammt semenjak pagi tadi tidak bersamaku. Bisa jadi Trista tahu sesuatu. Tapi, ya sudahlah. Mungkin Verdammt sedang menjelajah untuk melihat sesuatu yang aneh lagi. Atau mungkin ia mencari sendiri si Rikka Abila itu?

Bisa jadi.

Tapi aku yang sudah berada dalam bus ini serasa tanggung untuk kembali. Lagipula sedikit lagi akan sampai pada alamat tujuan. Terlalu rajin untuk balik ke rumah.

Jadi apa yang mesti aku katakan pada Rikka itu?

Hai, namaku Ramon Wolfgang. Apa kau mengenal seorang gadis berambut hitam panjang yang kira-kira seumuranmu, tingkahnya menyebalkan, dan dia sudah mati?

Hn! Kira-kira seperti itu. Kalau dia bukan orang yang merepotkan, pasti akan bilang oh ya, saya kenal. Dia dikubur di situ. Dan semuanya akan selesai. Verdammt akan pergi dari kehidupanku.

Verdammt ... akan pergi ... ya.

Tch! Gadis aneh itu, tiba-tiba saja menghilang! Apa dia berniat memberikanku kejutan lagi!? Atau mungkin dia merencanakan sesuatu dengan Trista!? Sialan!? Membuatku tidak tenang saja!? Tapi ... mau bagaimana lagi. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah bersiap dengan segala macam kemungkinan yang ada.

Aku berdiri guna menekan tombol yang terpasang di bagian atas jendela bus. Merespon tindakan tersebut, bus pun mulai memperlambat perpindahannya, hingga akhirnya berhenti. Tentunya aku bersegera turun setelah menggendong kembali ranselku.

Sukses berpisah dengan sang angkutan umum, aku pun lanjut melangkah. Butuh beberapa meter lagi untuk sampai ke alamat yang dituju. Aku memasuki gang kecil. Tak lama keluar dari sana dan melihat lagi jalanan yang lebih lebar. Rumah-rumah tersusun berjejer. Terdapat beberapa orang yang melakukan aktifitas berbeda seperti merawat rumput misalkan. Ah, bahkan ada anak-anak yang bermain lempar tangkap dengan R-OID.

Lonely GhostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang