PART 1 : SEBENTUK LUKA

239 5 2
                                    


Saat dia menikah, aku hancur.

Lebih dari dua belas purnama telah lewat. Namun, wajahnya yang memancarkan misteri masih selalu terbayang. Saat itu, ia tampak begitu tampan. Sangat.

Blangkon keemasan yang menaungi rambutnya yang legam membuatnya kian menawan. Baju beledu hitam berbordir keemasan, juga kuntum melati yang perias sematkan di telinganya memperingatkan kepadaku tentang statusnya sebagai seorang pengantin.

Misteri.

Kata yang tepat untuk menggambarkan tatapan sepasang matanya yang segelap malam kepada istrinya. Cintakah? Lukakah? Apa?

Semua tampak gembira. Terutama Papa. Ah, Papa..., seandainya tak cukup besar rasa hormat dan sayangku kepadamu, tak akan pernah sudi aku berdiri di situ. Gemetar menahan kesendirian di dalam meriahnya keramaian.

Bunyi ketukan halus membuyarkan memori. Cepat kututup laman facebook yang menampilkan foto lelaki itu dan mengalihkan wajah ke pintu. Demi Tuhan, untuk apa aku masih stalking?

“Masuk,” seruku.

Pintu terbuka sedikit, menyembulkan seraut wajah bulat Dina, sekretaris perusahaan.

“Bu, para kandidat baru sudah hadir. Pak Wira sudah menunggu di ruang meeting juga.”

“Ah, iya. Saya segera ke sana,” jawabku.

“Baik, Bu.”

Wajah bulat itu kembali menghilang.

Kurapikan blazer cokelat pastel yang membalut tubuhku. Kutarik bagian bawahnya agar tak ada kerut. Tentu, aku tak ingin tampak kusut. Aku akan segera menjadi senior di JRB Arsitek, jadi aku harus tampil berwibawa di hadapan junior. Ehm, lagipula, aku memang selalu tampil sempurna.

Saat memasuki ruang meeting, mereka telah menunggu. Pak Wira, putra pendiri biro konsultan arsitektur ini, juga menjadi pemegang saham terbanyak saat ini telah menempati kursi kebesarannya. Di samping kanannya, Anjani dan Gufron—rekan kerjaku—sudah duduk manis. Sedangkan di kursi meeting duduk berderet tiga pria muda dan dua orang wanita.

Mataku terpaku pada salah seorang di antara mereka. Seorang wanita cantik berambut kecokelatan lurus sebahu. Ah, rambut lurus sebahu, aku agak alergi. Semoga dia tidak lolos.

Aku mengambil posisi di samping kiri Pak Wira. Dina menghampiri dengan setumpuk kecil map merah di tangan. Map yang sama dengan yang ada di hadapan Pak Wira, Anjani dan Gufron. “CV mereka, Bu.” Kuberi anggukan kepala sebagai jawaban.

“Silakan mulai presentasinya.” Pak Wira mempersilakan.

Salah satu dari mereka maju dengan membawa maket dan laptop. Kubuka map berisi biodatanya. Masih muda, 24 tahun. Baru lulus kuliah. Tapi, begitu aku lihat presentasinya, kututup map miliknya tanpa merasa perlu tahu lebih lanjut. Presentasi itu tak bisa diharapkan, menurutku. Ya, hancur.

Pak Wira melirik ke arahku dengan dahi terlipat. Aku hanya memberinya seulas senyuman masam. Aku tahu, lelaki 38 tahun itu memiliki pendapat yang sama denganku.

OK, next.

Si cantik berambut sebahu anggun mendorong kursinya ke belakang, lalu melangkah ke tempat presentasi dengan percaya diri. Maket cantik berada di tangannya.

Kubuka map curriculum vitae miliknya.
Viani Margaretha, 24 tahun, Teknik Arsitektur ITS.

Demi Tuhan! Namanya Viani. Mirip dengan nama gadis itu. Aku benci!

Semoga dia tidak lolos, semoga dia tidak lolos.

Kelima jemariku kananku saling meremas. Maket Viani sangat cantik. Rancangannya bagus  dengan sentuhan feminin. Mungkinkah dia tidak lolos?

Dari sudut mata, kulihat Pak Wira manggut-manggut kecil.

Presentasi Viani berakhir dengan manis. Pak Wira menoleh ke arahku, tampak heran dengan ekspresiku yang mungkin tampak kecut. Aneh, memang. Karena raut mukaku tak berbanding lurus dengan presentasi Viani yang mungkin ciamik di matanya.

Bagus, Pak, presentasinya. Hanya saja, aku tak ingin dia di sini. Alasan pribadi.

Presenter berikutnya lumayan. Tubuh gemuknya yang kurang artistik berbanding terbalik dengan karyanya yang cukup mumpuni. Kucek biodatanya. Angga Hariyanto, 25 tahun, Teknik Arsitektur Universitas Brawijaya. Senyum terulas di bibirku. Kota asalku nan cantik terbayang di depan mata.

Aku adalah sekuntum mawar dari kota Malang yang dingin. Pemandangannya yang berlatar pegunungan selalu kurindu. Dini hari, kabut sering muncul menyelimuti. Di awal adaptasiku di Jakarta, panasnya yang luar biasa membuatku tersiksa. Ruangan ber-AC menjadi tempat favoritku.

Presenter berikutnya membuatku sakit kepala. Ia membuat rancangan rumit serba miring. Kurasa tak ada klien kami yang menginginkan desain seperti ini. Jadi, tak perlu aku repot-repot menengok identitasnya.

Presenter pemungkas membuat mataku tak berkedip. Dia memberikan desain modern yang elegan. Banyak klien menyukai model bangunan seperti ini. Ada sentuhan keunikan pada desain itu.

Narendra Alfarezi, 25 tahun, Teknik Arsitektur ITS.

Presentasi selesai. Pak Wira mempersilakan kelima presenter untuk menghilangkan dahaga dengan air mineral kemasan gelas yang telah disajikan Dina di meja rapat. Lantas, pria tinggi besar itu beranjak. Aku dan Anjani mengikuti.

“Narendra Alfarezi, Viani Margaretha, dan Angga Hariyanto. Itu pilihan saya,” Anjani berkata yakin.

Kupejamkan mata. Tepat dugaanku. Viani lolos. Ya, Tuhan….

“Saya setuju,” Gufron juga mengemukakan pendapatnya. “Mereka bertiga berkemampuan dan layak.”

“Rosa?” Pak Wira beralih kepadaku.

“Em, saya pilih Narendra Alfarezi dan Angga Hariyanto, Pak.” Suaraku tak seyakin Anjani dan Gufron.

“Viani?” Pak Wira menaikkan kedua alis.

“Viani… hem… terlalu biasa, Pak.”

“Terlalu biasa?” Anjani berseru. “Desainnya sangat cantik. Juga artistik. Bagaimana mungkin kau menyebutnya biasa?” Kedua telapak tangan wanita berambut cepak di bawah telinga dengan kulit gelap itu terbuka lebar.

Aku cuma mengedikkan bahu. Andai mereka tahu alasanku yang sebenarnya, pasti Pak Wira, Gufron dan Anjani akan mencemoohku emosionalisme. Masalah pribadi tidak seharusnya dicampur dengan urusan pekerjaan. Aku tahu itu.

Hanya saja….

Dan, yah, tanpa dapat kucegah, Viani diterima. Bersandar di meja rapat, dengan muka masam dan kedua lengan terlipat di dada, aku memperhatikan gadis itu tertawa girang. Rambutnya yang cokelat lembut bergerak-gerak seiring dengan tawanya. Mirip. Sangat mirip dengan rambutnya. Dia, gadis jahat yang tiba-tiba muncul dalam hidupku, lalu mencuri dua pria yang aku cinta.

Apa kau pernah dengar tentang radiasi? Ada kalanya, kau akan merasa saat seseorang menatapmu. Mungkin, itu yang terjadi. Mataku yang sejak tadi fokus ke arah Viani, seakan ingin menerkam gadis itu, mendadak teralih sedikit ke kanan dan langsung bertabrakan dengan sepasang mata hitam yang entah sejak kapan memandangku.

Ck, dia tahu. Pria dengan mata hitam itu, Narendra, dia menangkap basah aku yang sedang menusukkan mata ke arah Viani. Tubuh jangkungnya berdiri di sisi gadis itu.

Kutegakkan badan dan melangkah keluar ruang rapat dengan dagu terangkat.

Ponsel silverku berbunyi di tengah kesibukan memeriksa pekerjaan di mejaku. Sebuah pesan WhatsApp baru saja masuk.

Violet : Rosa, akhir pekan nanti, aku dan Mas Yudha ke Jakarta. Bisa kami mampir ke tempatmu? makan siang bareng?

Dengkusanku lolos begitu saja. Wanita ini sungguh tidak peka.

Aku : Akhir pekan aku pergi.

Violet : Sayang banget. Oke, deh. Jaga dirimu, ya.

Kuputar bola mata. Sok manis!

Jam dinding menunjukkan pukul empat sore kala ponselku kembali berdenting.

Mama : Rosa, ayahmu tahu kau di Jakarta. Entah tahu dari mana. Ia menemui Mama untuk meminta alamatmu. Mama tidak memberikannya. Ia marah.

Aku terkesiap. Dadaku mendadak dingin membayangkan saat-saat Ayah marah kepada Mama.

Aku : Mama nggak apa-apa?

Mama : Alhamdulillah enggak. Papa datang tepat waktu.

Kuembuskan napas lega. Tanganku sudah berkeringat saja.

Mama : Mama dan Papa mengkhawatirkanmu. Bagaimana kalau Mama minta tolong Yudha untuk menjagamu?

Tangan dinginku berhenti saling meremas.

Aku : Tidak usah, Ma. Apa gunanya? Mas Yudha tinggal di Tangerang, bukan di Jakarta.

Sebenarnya, jarak Tangerang dan Jakarta tidaklah sejauh kutub utara dan kutub selatan. Hanya saja, cincin yang melingkar di jarinya membentangkan jarak yang lebih jauh dari dua kutub. Melihatnya akan mendenyutkan duri yang tertancap dalam di hatiku.






ROSA BERDURI (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now