7. A Piece of Memories

340 69 13
                                    

SUARA pintu yang kembali menutup dan terkunci memalingkan perhatian Jiwon dari kesibukannya dengan layar layar laptop dan piano kecilnya

Oops! Bu görüntü içerik kurallarımıza uymuyor. Yayımlamaya devam etmek için görüntüyü kaldırmayı ya da başka bir görüntü yüklemeyi deneyin.

SUARA pintu yang kembali menutup dan terkunci memalingkan perhatian Jiwon dari kesibukannya dengan layar layar laptop dan piano kecilnya. Matanya bertemu pandang dengan tatapan sayu Kim Hanbin. Temannya yang baru kembali setelah beberapa waktu lalu terpaksa berkendara di tengah malam menjemput hasil autopsi korban KDRT, kasus milik tetangga mereka, Sooyoung.

"Ada apa dengan wajahmu?." Jiwon bertanya sedikit perhatian sisanya penasaran. Ia menegakkan tubuhnya dan membiarkan kakinya terlentang setelah bermenit-menit tertekuk.

Kim Hanbin tidak langsung menyahut. Memilih pergi ke dapur untuk mengambil soda kesukaannya dan duduk di sebelah Jiwon. "Tidak apa-apa." Timpalnya.

"Bohong. Jelas-jelas ditampangmu tertulis sedang banyak masalah tidak usah sok kuat."

"Hanya kelelahan. Kau tahu jarak rumah dengan Kim's Medical Center lumayan jauh."

Jiwon bergumam asal. Memejamkan kelopaknya yang sudah agak panas efek terlalu lama berkutat di depan layar. Yah, deadlinenya sudah semakin dekat sementara dari total sepuluh lagu yang harus ia serahkan, belum sampai lima yang jadi sempurna. Bekerja sebagai salah satu produser utama di agensi musik besar memang memberikan nol banyak di belakang deretan angka di rekeningnya dan juga popularitas luar biasa. Terlebih setelah berhasil menggaet penghargaan produser terbaik tahun ini. Kaya dan populer. Setidaknya itulah yang terlintas dipikirannya saat menandatangani kontrak ekslusifnya dua tahun lalu. Tidak terpikirkan bahwa waktunya akan tersita banyak termasuk jam tidurnya yang menjadi kacau-balau. Sudah dua hari belakangan ia cuma tidur satu sampai dua jam. Berangkat ke studio dan kembali ke rumah hanya untuk melanjutkan pekerjaan.

Kim Hanbin maju dan mulai menggerakan kursor di layar. Memilah draft lagu dan menyetel hasil kerja temannya yang masih belum matang. Matanya turut terpejam saat dentingan piano mulai menyapa pendengaran.

"Lagu patah hati lagi?." Tanyanya setengah mencibir setelah meneguk kembali sodanya.

"Bagus kan?." Jiwon tidak mengacuhkan cibiran Hanbin. Kalau tidak sedang memasuki fase-sangat-kelelahan ia mungkin mendebat temannya yang suka mengkritik lagunya belakangan ini. Lupa mungkin kalau dulu semasa sekolah Hanbin lah yang paling sering menulis lirik lagu sedih dan meminta Jiwon menciptakan melodinya.

"Tidak."

"Ck," Mata Jiwon membuka lebar dan menatap sebal pada Hanbin yang masih terpejam. "Kau tidak suka karena semua liriknya seperti menyindirmu kan?."

"Dalam mimpimu."

"Kenyataan. Dengarkan aku," Tubuh Jiwon menegak. Seketika itu pula tenaganya yang hilang kembali terisi. "Tadinya aku malas ikut campur tapi beberapa saat yang lalu Kim Jennie menelponku dan mengatakan soal kau yang mengatainya.... pelacur," kening Jiwon berkerut mendengar ucapannya sendiri lalu memandang Hanbin, "benar begitu?."

"Ya."

"Seriously, dude?!." Kim Jiwon memekik. "Kau sudah gila? Selama ini aku diam dan membiarkanmu karena ku rasa kau membutuhkan ruang dan waktu untuk memaafkan Jennie. Tapi menyebutnya pelacur... Bukankah itu terlalu kejam?."

[1] SnowflakesHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin