Prolog

553 127 17
                                    

"Duh, gue salah ambil jurusan kali, ya?" gerutuku sambil terus menelusuri rak-rak berdebu yang penuh dengan buku pelajaran. "Yang mana, sih, bukunya? Katanya yang bersampul merah. Kok, gak ada?"

Mataku mengikuti ke mana tanganku bergerak, mencari buku biologi bersampul merah yang tadi di katakan guruku. Dari sekian banyak murid di kelas, kenapa guru itu memintaku untuk mencari buku itu? Huh, itu membuatku terjebak di perpustakaan usang ini. Padahal aku harusnya sudah pulang ke rumah dan bersantai setengah jam yang lalu.

Buku biologi di perpustakaan ini bukan hanya satu-dua buku. Mungkin jumlahnya puluhan, dengan berbagai penulis dan penerbit yang berbeda-beda. Dan guruku itu hanya memintaku mencari buku biologi kelas sepuluh bersampul merah. Dia pikir, buku biologi bersampul merah hanya untuk kelas sepuluh saja?

Aku kembali mencari ke rak selanjutnya. Menggerutu terus tidak akan membuat masalahku selesai, malah akan membuatku tinggal lebih lama di perpustakaan ini. Ukh, perutku sudah berbunyi, menuntut minta diisi. Aku terus mencari, sampai tanpa sengaja ekor mataku menangkap seorang gadis (?) yang sedang duduk manis sambil membaca buku. Aku mengucek mataku, meyakinkan kalau ini bukan halusinasi akibat diriku yang sedang kelaparan. Oh, sial. Jangan bilang kalau itu adalah hantu penunggu perpustakaan ini.

Gadis itu memakai seragam yang sama denganku, rambutnya panjang dan hitam, bahkan beberapa helai menutupi wajahnya. Tiba-tiba gadis itu menyelipkan beberapa helai rambut yang menutupi matanya ke belakang telinganya.

Alih-alih berwajah buruk rupa dan berlumuran darah seperti hantu pada umumnya yang sering kulihat di film-film, gadis itu justru memiliki wajah yang menurutku sangat cantik. Tunggu dulu, dari tadi aku menyebutnya hantu. Sebenarnya dia ini manusia atau bukan? Oke, sepertinya aku yang berkhayal terlalu gila. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, terlalu keras sehingga malah membuatku pusing. Saat itu aku baru menyadari kalau ternyata dia balik memandangiku dengan pandangan penuh tanya. Aku yang dipandangi seperti itu malah menjadi salah tingkah.

Perlahan aku mendekatinya, dalam hati aku berkomat-kamit membaca segala doa yang aku tahu untuk melindungiku dari serangan mahkluk halus atau apalah itu.

"Ehm... gue... boleh lihat buku lo, gak?" tanyaku agak ragu, aku sudah memasang kuda-kuda untuk kabur secepatnya jika ternyata dia tiba-tiba melayang di atas udara dengan senyum merekah sampai ke telinga. "Gue lagi nyari buku biologi soalnya,"

Tanpa banyak basa-basi, dia menutup bukunya dan memperlihatkannya kepadaku. Buku tebal yang berjudul biologi dengan sampul merah yang sudah terlipat sana-sini, dan cukup jelas terlihat angka romawi yang berartikan sepuluh. Itu kah buku yang aku cari?

"Boleh pinjam, gak?"

Gadis itu mengangguk, lalu menyodorkan buku itu padaku. Aku mengambilnya dengan tangan kananku, kedua mataku mencuri pandang ke arah name tag-nya. Rambut panjangnya menutupi sebagian namanya, sehingga yang terlihat hanya nama belakangnya saja, Rani.

"Lo lihatin apa?" suara halus itu tiba-tiba membuat degup jantungku tidak beraturan. Antara kaget, malu, dan sedikit terpesona.

"Ah, enggak. Bukan apa-apa,"

Dia menatapku intens, seolah sedang menginterogasiku. Tak lama, dia beranjak pergi meninggalkanku setelah mengambil tas ransel berwarna hitam miliknya.

"Oh, ya," suaraku membuat langkahnya terhenti sejenak. "Nama lo siapa?"

Dia diam, sepertinya dia sedang berpikir.

"Selia." satu kata. Hanya satu kata itu, lalu dia pergi meninggalkanku bersama keheningan di dalam perpustakaan usang ini.

Deg...deg...deg...

Hei, apa-apaan jantungku ini? Mengapa aku menjadi deg-degan seperti ini?

Selia, ya? Apa dia murid yang sering dibicarakan itu?

SeliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang