5. Spring Will Come

418 62 11
                                    

Aaron familiar dengan kegelisahan, terutama sejak terpilih jadi ketua kelas. Gelisah mikirin cara biar teman-temannya nggak ribut saat jam kosong biar kelas sebelah nggak terganggu, gelisah memikul ekspektasi wali kelas, gelisah menengahi perkelahian teman kelas yang membuatnya turut berada di ruang BK, gelisah memikirkan bagaimana dirinya akan dihakimi jika membuat kesalahan.

Saking seringnya, Aaron jadi terbiasa dengan semua itu. Kegelisahan terasa seperti makanan sehari-hari baginya. Jika tidak ada sesuatu yang membuatnya gelisah, Aaron justru panik. Seolah itu adalah bagian dari dirinya.

Sebelum semua itu, semuanya berawal di hari pertama sekolah setelah libur semester. Aaron akhirnya berada di kelas tiga. Seperti pagi-pagi sebelumnya, ibu selalu menyalakan televisi. Aaron tengah mencelupkan biskuit ke susu ketika mendengar ibunya mendumel soal sesuatu, ternyata layar televisi lagi-lagi menayangkan berita skandal artis ternama yang sudah populer sejak lama, dan makin melejit begitu film barunya menarik minat publik dan sukses.

Bahkan kakak perempuannya pun ikut berkomentar, "Dari sebelum main film udah banyak yang bilang sombong sih, sekarang ketahuan aslinya. Sayang banget, padahal cantik, jarang ada orang yang masih keliatan secakep itu di umur 40-an."

"Jangan ngomong yang enggak-enggak. Percuma cantik kalau suka bikin ulah."

Aaron familiar dengan namanya; Melani Gantari. Tapi tidak cukup peduli untuk ikut bereaksi keras seperti ibu dan kakaknya. Itu hanya berita seperti yang sudah-sudah, yang akan cepat dilupakan publik begitu datang berita baru.

Selesai sarapan, laki-laki itu pamit ke sekolah dengan motor bebek, seperti biasa. Satu-satunya kegelisahan Aaron adalah ia takut seseorang akan mengajukannya lagi sebagai ketua kelas seperti di kelas satu dan kelas dua. Laki-laki itu nggak sanggup memikul posisi itu lagi, terutama di kelas tiga. Dia ingin memprioritaskan pelajaran karena tahun depan harus lulus kuliah atau ibu bakal marah.

Sampai di sekolah, gerbang lebih ramai dari biasanya. Aaron tidak peduli dengan sumber keramaian itu. Ia langsung masuk, sampai Fadel, teman sekelasnya sejak kelas satu datang entah dari mana dan merangkulnya.

"Eh, ada Aaron. Mau ke mana?"

"Kelas lah goblo, ke mana lagi."

"Nggak mau liat si anak artis?"

Aaron mengernyit, "Siapa sih?"

"Lo mendem di goa apa gimana sih gatau berita?"

"Nggak peduli gue."

Fadel manyun, tapi tetap mengikuti Aaron yang berniat berjalan mencari kelas. "Kalau gue sekelas sama lo lagi, mending gue beli sekop terus kubur diri."

Fadel malah ketawa, mereka memang selalu satu kelas sejak tahun pertama. Seharusnya berempat, dengan Evan dan Lisia yang belum datang. Aaron tidak masalah satu kelas dengan Evan, tapi dia tidak tahan dengan Fadel dan Lisia.

"Galau lo yang ada kalau pisah ama gue," balas Fadel, dengan pede. "Harusnya lo bilang gitu tuh ke Si Lisia."

"Sama aja lo berdua."

"Beda."

"Bodo ah."

Aaron sampai di koridor kelas tiga, mengecek namanya satu per satu, begitu pun Fadel. Dua cowok itu nggak menemukan nama mereka di MIPA 1. Mereka kemudian berpindah ke MIPA 2, dan juga tidak menemukan nama mereka.

"Anjir, lo juga nggak masuk MIPA 2?" tanya Fadel, bikin perasaan Aaron jadi nggak enak.

"Ya Tuhan, tolong siapa pun asal jangan Fadel."

Fadel ngumpat.

Mereka sampai di MIPA 4, Aaron langsung menemukan namanya di absen pertama, sementara Fadel masih mencari, hingga kemudian berteriak dan dengan riang memeluk Aaron.

May The Flowers BloomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang