2. Erasing

983 110 39
                                    

[Riani]

"Ke rumah sakit sekarang, Juna kecelakaan."

Satu kalimat itu kerasa seperti dentuman keras yang mengenai kepala gue. Menciptakan jeda berupa dengingan panjang, cukup lama hingga tanpa sadar, ponsel gue lolos dari tangan.

"Riani? Lo kenapa?"

Gue nggak bisa menjawab pertanyaan Jasper, pandangan gue mendadak kosong dan lupa gimana caranya mengambil oksigen. Perlahan tapi pasti, sesak mulai terasa, bikin gue tanpa sadar mengenggam bagian belakang pakaian Jasper terlalu kuat.

"Ada kabar buruk???"

Pertanyaan nggak terjawab memicu Jasper turun dari motor, mengambil ponsel gue yang terjatuh. Cowok itu membawa gue turun dari motor dan melepas helm yang gue pakai, semua itu dilakukan dengan cepat sampai nyaris nggak disadari.

"Jasper... J-Juna—"

"Lo nggak papa??? Aduh anjing gue bingung lagi, aduh gimana—anu—lo bisa napas?" Jasper nanya sambil panik dan noleh kanan-kiri, kemudian frustasi. "Aduh goblok banget gue pake nanya!"

"N-nggak bisa—gue—"

"Itu—coba pelan-pelan aja," dia ngomong gitu sambil dengan ragu menepuk pundak gue pelan.

Mengangguk samar, gue susah payah mengisi kembali udara, masih ngerasain tangan Jasper menepuk pundak gue, "Sekarang keluarin itunya—aduh apa sih—maksud gue udaranya, pelan-pelan....."

Tarikan nafas itu terulang untuk beberapa menit. Perlahan, pandangan gue kembali jelas, gue bisa lihat Jasper ngeliatin lurus.

"....."

"Udah mendingan?"

Gue mengangguk lagi, lantas menarik nafas dan menghembuskannya untuk ke sekian kali, menggigit bibir, menatap Jasper. "Juna... di rumah sakit, dia... k-kecelakaan, jadi—"

Jasper nggak menjawab, tapi cowok itu memasang kembali helmnya. "Ayo ke sana. Lo udah nggak papa kan? Bisa berdiri?"

Gue mengangguk, memasang kembali helm dan naik ke motor. Motor Jasper kali ini melaju dengan cepat. Kurang dari dua puluh menit, kami sampai di sebuah rumah sakit yang diberi tahu Kak Reihan dan langsung menuju Unit Gawat Darurat. Di sana sudah ada Ibu dan Kak Reihan yang getir. Ibu Juna langsung memeluk gue begitu sadar gue datang. Wanita itu nggak menangis, tapi gue bisa ngerasain jantungnya berdetak begitu kencang.

"Nggak papa, Tante." gue menepuk pundak Ibu Juna pelan. "Juna bakal baik-baik aja."

Wanita itu melepaskan rangkulannya, menatap gue masih dengan senyum getir, kemudian mengangguk. Mungkin beliau juga memilih untuk percaya. Kami semua lantas duduk. Semua terlalu kalut untuk memulai percakapan, sehingga yang setia menemani kami hanya keheningan.

Jam demi jam berlalu, langit mulai gelap, tapi belum ada yang beranjak. Jasper juga masih di sini. Tim medis kemudian keluar dan menghampiri, kami menunggu penjelasan dokter dengan was-was.

"Pasien mengalami patah tulang pada kaki, saat ini sudah dilakukan tindakan awal di bagian gawat darurat," ucapnya. Tanpa menunggu kami bereaksi, dokter melanjutkan. "Kami akan melakukan pemeriksaan radiologi untuk mengetahui tingkat keparahan patah tulang dan merujuk pasien ke ahli bedah ortopedi, lalu menentukan tindakan yang akan dilakukan untuk memperbaiki kondisi tulang kaki pasien."

May The Flowers BloomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang