11. Obscurity

262 41 37
                                    

"Ini untung aja nyokap sama kakak gue nggak di rumah ya, kalau ada mungkin protes lo semua berisik banget," Aaron mengomel panjang lebar saat mendapati kedatangan teman-temannya yang tanpa diduga. Lebih tak terduga lagi, karena Riani dan Lisia terlihat lebih bersahabat. "Sejak kapan lo berdua baikan?"

"Dari tadi," Lisia yang menjawab. "Nih, udah kan? Udah baikan, lo nggak usah pake drama-drama mundur lagi! Kayak cewe aja."

"Nggak bisa, harus ada reka ulang adegan!"

"Apa sih, ngotot banget!" Lisia berseru tidak terima. "Dikira gue pemain film gitu air mata bisa keluar kapan maunya?!"

Evan terkekeh di sebelahnya. "Udah, Ron. Kenapa sih lo salty banget."

"Gue yang jungkir balik mikirin cara buat bikin kalian baikan, tapi bisa-bisanya nggak ngelibatin gue dalam momen—"

"Lebay banget, elahhh. Yang penting sekarang nih duo macan udah damai, jadi kita juga aman nggak liat mereka cakar-cakaran lagi," Fadel menyela yang langsung dihadiahi pelototan tajam Lisia dan Riani. "Lagian, yakali nih si Lisia mau minta maaf terus gue malah ngomong 'eee tarik lagi air mata lu nangisnya di rumah Aaron aja' kan nggak mungkin, blok?"

"Tapi tetep aja lo ngerusak suasana," balas Riani, mendengus samar.

Mereka kompak melempari Fadel dengan kulit kuaci, bikin cowok itu melontarkan serapahan. Aaron menatap kumpulan temannya, tiba-tiba tersenyum setelah lima belas menit terakhir bertahan dengan wajah cemberut.

"Gue emang harus ngambek kayak cewek dulu ya baru lo berdua mau baikan?" ia berucap. Meski terdengar sarkas, Aaron tersenyum kali ini. "Ada hikmahnya juga gue mundur dari kelompok."

Melihatnya, Riani ikut tersenyum, cukup lebar kali ini. "Thanks, Ron. It means a lot."

Aaron tertegun. Jujur, ia sering memerhatikan Riani ketika tersenyum dan beranggapan bahwa cewek itu punya jenis senyuman yang berbeda-beda. Ada senyum formal, senyum semi meringis, senyuman yang muncul ketika ia berada di situasi yang tidak nyaman, dan terakhir, yang juga menjadi favorit Aaron..... senyum yang muncul ketika ia benar-benar ingin tersenyum.

Di awal interaksi mereka, senyum yang Riani tunjukkan padanya adalah senyuman formal dan tidak nyaman. Aaron merasa payah karena tidak bisa hadir sebagai sosok yang bisa memberikan kepercayaan pada gadis itu, menjadikannya nyaman. Karena itu, diam-diam, Aaron bertekad ingin membuat Riani tersenyum kepadanya dengan cara yang seharusnya. Tersenyum kepadanya..... karena perasaan senang, karena Riani memang ingin tersenyum. Hari ini, tekad itu terwujud.

Di tengah keterpanaan itu, Aaron sadar dadanya berdetak semakin cepat. Cowok itu merutuk. "Sial, gue punya hati kenapa lemah banget sih, gini doang ambyar."

"Riani—"

"Oh iya, makasih juga buat Fadel sama Evan. Sorry gue sempat nyolot sama lo tadi, Del."

"Kalau sama dia mah nggak papa, anaknya emang pantes dinyolotin," balas Lisia santai sambil mengunyah kuaci, Fadel mencibir di sebelahnya. Evan manggut-manggut sambil mengacungkan jempol.

Riani tertawa, meski kemudian meringis ke arah Lisia. "Gue juga minta maaf sama lo, Lis. Yang waktu itu..... pasti sakit banget ya?

"Hooh," Lisia mengangguk. "Tau nggak? Nyampe rumah, gue langsung ngaca, takut aja kepala gue jadi gundul. Tapi ya... untungnya enggak, gue bersyukur lo masih ada sisi kemanusiaan dikit waktu ngamuk, jadi kepala gue nggak sampe dibotakin."

"Mestinya kemaren lo jambak aja ampe botak," Fadel menyahut, balas dendam.

"Kepala lo aja sini gue gundulin."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

May The Flowers BloomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang