BLOODY NIGHT

2.4K 260 11
                                    

Sean mundur menjauhi pagar anjungan dan segera melangkah cepat ke sudut lain kapal. Anna mengikuti dari belakang dan segera meraih lengan Sean begitu ada kesempatan.

"Sean, ada apa? Kau harus katakan apa yang terjadi padaku." Desak Anna.

"Mungkin sulit untukmu mempercayainya. Koloni siren, mermaid, sedang dalam perjalanan kemari. Aku mendengar suara mereka."

Anna hening untuk sementara. Ya Sean benar, sulit memahami apa yang tiba-tiba masuk ke telinganya saat ini. Mermaid? Gadis itu mempercepat gerakan kakinya mengimbangi langkah Sean. "Kenapa mereka-kemari?"

"Mereka akan menyerang kapal-kapal ini."

"Menyerang? Tapi, mereka tidak bisa asal melakukannya. Orang-orang di sini telah menyiapkan segala peralatan untuk meringkus mereka. Bukan hanya satu, tapi ribuan dari mereka. Para siren tidak bisa begitu saja melakukan penyera..-"

"Aku tahu."

"Lalu apa yang harus kita lakukan? Kau punya rencana?"

"Aku akan membobol dan menghancurkan segala sesuatu yang bisa melukai mereka." Sean menuruni beberapa anak tangga di kapal itu. Penjagaan sudah mulai merenggang karena orang-orang telah berpindah ke kapal lain, kapal Alexa.

Tak jauh dari sana, ia lalu menemukan sebuah senjata api milik beberapa pasukan yang tewas di awal penyerangan mereka. Sean membungkuk dan mengambil salah satu senjata tersebut, memeriksanya. Peluru masih penuh di tempatnya. Dan ia lalu beranjak ke tepian dek melewati mayat-mayat yang bercecer di tempat itu.

"Sean kau mau ke mana?!" Anna berseru mengejarnya.

Hampir ke pagar pembatas di dek itu, Sean berpaling dan berpikir beberapa saat, memperhatikan sejenak gadis yang membuntutinya itu sebelum melemparkan senjata yang tadi ia bawa padanya.

Anna langsung menangkapnya bak seorang catcher di permainan bisbol. "Sean..-"

"Kau bisa gunakan senjata?"

--

Malam kian larut ketika Sean akhirnya sampai di dek utama kapal ibunya. Ada lebih banyak mayat di tempat itu. Bau anyir bangkai semakin kuat menggoda penciumannya menyatu dengan aroma asin lautan yang dihembus angin malam. Suara baku tembak terus terdengar di beberapa kabin tak jauh darinya, sementara ledakan-ledakan kecil semakin hebat memporak-porandakan tempat tersebut.

Pemuda itu mendongak ke bagian atas kapal. Jika dugaannya benar, di sekitar situ pasti ada ruang operasional utama di mana Alexa dan kru-nya dapat mengendalikan apapun. Tanpa pikir panjang ia pun segera beranjak menaiki tangga yang paling dekat.

Sean tak segan melepas tembakan pertamanya ketika seorang pria besar tiba-tiba muncul dan mengarahkan senjatanya pada Sean di akhir anak tangga. Sean yang hampir terkena tembakan berhasil melesatkan timah besinya tepat ke kepala pria itu, membuatnya seketika ambruk tak bernyawa.

Ia lalu kembali melanjutkan langkahnya, memeriksa satu persatu ruangan di sekitar. Sesekali melepaskan tembakannya ketika orang-orang yang tak sengaja ia temui kembali mencoba menghabisinya.

Tiba di ujung tempat itu, Sean menghentikan langkahnya ketika suara gaduh penyerangan sedikit mereda. Sepertinya orang-orang tak separah dan sebrutal tadi menaklukkan seisi kapal. Mungkin kubu Alexa telah menyerah? Entahlah.

Tak lama Sean melihat seseorang yang tak asing masuk ke kapal ini dikawal beberapa orang bersenjata. Seorang pria paruh baya yang pernah menjadi mimpi buruknya beberapa hari terakhir selain ibunya.

'James,'

Orang tua itu berjalan dan terlihat sangat gembira. Kakinya sesekali menendang kepala dari orang-orang yang tewas seperti menendang bola. Tarian-tarian kecil juga ia buat dengan tangannya diiringi sebuah siulan.

*****

Alexa, menatap lautan yang gelap dari tempatnya setelah ia memutuskan untuk memenuhi permintaan James berbincang-bincang sejenak. Udara rupanya lebih dingin di luar sini. Deru suara gelombang yang mengenai dinding lambung kapalnya sesekali terdengar, seakan menjadi irama di tengah kekacauan yang menimpanya malam ini.

Wanita itu mengangkat tangannya dan melempar botol vodka yang ia bawa dari ruang operasionalnya ke lautan. Benda bening itu menghilang seakan ditelan gelap bahkan sebelum jatuh mengenai permukaan. Ia tertawa sejenak melihat kejadian tersebut, tertawa kecil sebelum mendongak ke langit di mana purnama ketiga masih sangat cantik menghiasi langit malam.

"Apa ia akan berhasil?" Tanyanya kemudian sambil mengangkat sebuah kertas putih hingga sejajar dengan wajahnya, membuat coretan-coretan lagu yang baru William tulis terlihat jelas di bawah cahaya lampu ruangan itu.

William menarik tangan Alexa turun. "Mungkin ya mungkin tidak. Ini bukan terfokus apakah dia akan berhasil atau tidak, tapi tentang guncangan emosional yang ia alami ketika dia masih berjuang untuk meraih apa yang dia inginkan." Pemuda itu tersenyum.

Alexa mengangkat tangannya sekali lagi, mengarah ke langit malam saat ingatan-ingatan dua puluh tahun silam mulai mengontrol pikirannya. Jemarinya bergerak di udara seakan meraba purnama yang makin bercahaya indah, yang perlahan menggali apapun tentang, William. Lelaki itu, binaran wajahnya sama menawannya seperti bulan yang menggantung di langit.

"Aku akan mengubah beberapa baris liriknya jika kau tidak suka." Ujar lelaki itu lagi yang suaranya masih mengiang di telinga Alexa.

"Aku suka, tidak ada yang perlu diubah. Kau seorang penulis lagu berbakat."

"Benarkah? Tapi aku masih harus banyak belajar."

"Kau akan menjadi dewa jika terlalu banyak belajar. Orang-orang terkenal di bidang ini akan sangat iri padamu." Alexa menyandarkan kepalanya dengan manja.

William tersenyum mendengar pujian itu. Ia mengusap perut Alexa sebelum menyambung obrolan mereka lagi. "Oke, kita lupakan berbicara tentang pekerjaan."

"Apa kau ingin mengobrol hal lain?"

William tersenyum. "Ada sesuatu yang ingin kukatakan."

"Apa?"

"Aku, akan membeli mansion begitu aku mendapat banyak uang. Mansion untukmu dan anak-anak kita."

"O ya?"

"Ya, aku akan membeli sebuah hunian yang indah untuk kalian seperti keinginanmu. Tempat tinggal mewah di pesisir yang akan membuatmu bahagia." William memberi sebuah kecupan di kening Alexa.

Namun Alexa mengangkat kepalanya dan mendorong wajah itu dengan lembut."Tidak,"

"Tidak?"

"Tidak, kau tak harus lakukan itu untuk membuatku bahagia, anak-anak kita bahagia. Kau tak perlu menghamburkan uangmu. Kau memberiku kesempatan untuk menjalin kedekatan, mengetahui dan mempelajari banyak hal tentang dirimu seperti ini saja sudah membuatku sangat bahagia. Kau tak perlu terlalu keras lagi dan berharap kebahagiaan lebih untukku." Ujar Alexa saat itu.

Ia ingat bagaimana reaksi William dengan perkataanya tersebut. Tentu William yang tak mengetahui apapun yang akan terjadi padanya menganggap kalimat Alexa tersebut adalah kata-kata dengan arti yang sangat baik. Alexa bisa merasakan getaran perasaan hebat yang makin dan makin dalam setiap harinya dari lelaki itu.

"Bodoh." Ia tersenyum dan menurunkan tangannya. Berbalik ke arah lain di mana suara derap kaki dari beberapa orang tiba-tiba terdengar.

Dari setiap orang yang tertangkap matanya itu, kenangan akan William sebenarnya menjadi cukup kuat berputar kembali di kepalanya saat ini. Seakan ikut mengiringi pengelihatannya menangkap objek tentang siapa saja yang ia lihat sekarang. Seorang pria dan beberapa anak buahnya. Pria yang Alexa hafal benar setiap sudut wajahnya, bahkan caranya berbicara, kini berjalan mendekatinya dengan wajah yang sangat ceria. "Akhirnya, akhirnya aku bisa bertemu kawan lama." James membuka kedua tangannya lebar-lebar, seolah ingin memberi pelukan kecil bak pria yang sedang mencoba melepas rindu.

Alexa hanya menatapnya datar, beberapa orangnya membuat jarak untuk James saat mereka sudah benar-benar dekat. Tanpa memberi kata sapaan apapun seperti yang James lakukan, Alexa sekali lagi mengangkat tangannya yang sekarang telah menggenggam pistol, menodongkannya ke arah James dan langsung melesatkan pelurunya ke kepala pria tersebut.

...

THEIR MERMAN [COMPLETE]Where stories live. Discover now