WILLIAM part 3

4.4K 349 13
                                    

Sekali lagi, tangan kecilnya meraih salah satu spidol-spidol yang tercecer itu, spidol warna kuning. Lalu menggoreskannya ke atas permukaan kertas putih itu berkali-kali hingga menutupi sebagian kecil lembaran tersebut. Garis penuh yang dicoretkannya tak beraturan, terlihat berantakan bahkan beberapa kali keluar dari garis hitam yang dia buat sendiri. Melenceng ke sana kemari hingga tak jelas gambar apa yang ia coreti warna tersebut.

Dengan tersenyum puas, gadis kecil berkuncir dua itu tak peduli dengan coretan-coretannya tersebut, ia justru memandanginya dengan bangga untuk beberapa saat. Seakan-akan itu adalah mahakarya paling indah yang dibuat oleh seniman kelas dunia. Bukan coretan-coretan berantakan yang tak jelas apa maksudnya.

"Aku sudah selesai! Kakek! Aku sudah selesai!" Serunya girang berpaling pada pria tua yang duduk di kursi malasnya tak jauh dari sana.

Gadis itu mencicing kertas gambarnya dan berdiri dari lantai. Kaki-kaki kecilnya melangkah menghampiri orang tua yang kini tengah sibuk mengotak-ngatik handphonenya itu.

"Kakek, lihat!" Ia meletakkan kertasnya ke pangkuan pria setengah botak tersebut. "Kakek, ini ikan. Ikan kuning, ikan merah, ikan biru dan ikan hijauuu!"

"Ini bukan ikan hijau." Pria tua itu meletakkan ponselnya dan mulai mengalihkan perhatiannya pada kertas gambar itu, tak lupa membenahi sedikit posisi kaca matanya. "Ini hitam. Ikan hitam. Kau lupa pelajaran tentang warna-warna lagi, Anna?" Ia memberi tatapan menyelidik.

Gadis itu kehilangan senyumannya seketika. Ia meremas-remas jari-jarinya. Warna? Ya, dia ingat beberapa warna yang ia pelajari. Merah, biru, kuning, dan entah apalagi. Begitu banyak jenis warna yang harus ia hafal. Dan semua orang di rumah itu tak pernah bersikap lebih santai jika menyangkut sesuatu yang harus ia pelajari. Warna, berhitung, bahkan mengetahui beberapa jenis hewan. Demi Tuhan! Sesekali ia ingin berteriak kalau ia hanya ingin bermain.

"Aku, aku ingat.." Kata gadis cilik itu. Sekali lagi, ia tak ingin mendapat respon jelek dari kakeknya tersebut. "Aku memakai warna, hijau hitam."

"Hijau hitam?"

"Ya, hijau hitam kakek." Katanya memutar-mutar ujung rambutnya yang dikuncir.

Sementara pria itu mendadak tertawa keras. "Hijau hitam, hijau hitam tidak ada sayang. Warna hijau adalah hijau, warna hitam adalah hitam. Dan ini adalah warna hitam." Orang tua itu berusaha keras menghentikan tawanya. "Yah-yah, oke.. Gambarmu, bagus! Kakek menyukainya. Kakek akan menyimpannya. Tapi, untuk gambarmu berikutnya, lebih bagus lagi kalau kau tahu warna apa yang kau gunakan." Ia mengusap kepala Anna lembut dan memberi kecupan kecil.

Sentuhan kasih sayang dari pria itu, membuatnya tertawa gembira. Ekspresinya seperti seseorang yang berhasil memenangkan undian. Dan itu terlihat, manis.

"Terimakasih Kakek!" Ujarnya.

"Sama-sama Nona muda." Orang tua itu membuka lengannya ketika Anna kemudian menyelipkan tubuh kecilnya ke pelukannya dan bersandar di dada pria itu seperti anak-anak yang akan berfoto ria dengan Santa Claus di malam natal.

"Kakek.."

"Ada apa?"

"Ibu. Di mana ibu? Kenapa belum pulang? Ibu tak membacakanku dongeng semalam, dan aku belum melihatnya pagi ini."

Pria itu mendesah panjang. "Ibumu, ibumu sibuk. Ia mengurus pekerjaannya yang menggunung."

"Apa ibu seperti peri yang mengurus pohon oak? Peri-peri selalu sibuk saat musim semi tiba. Mereka mengurus pohon-pohon, bunga-bunga, dan mengecat setiap helai daun pohon oak."

Pria itu tertawa sekali lagi. "Tidak-tidak, dia tidak seperti peri. Dia, lebih sibuk dari para peri." Bisik pria itu. "Dia sibuk mencarikanmu, ayah." Sambungnya kemudian terkikik kecil. Suaranya terdengar seperti bocah yang menertawakan teman sekelasnya. Bahkan dengusan nafasnya membuat gadis kecil yang hampir menginjak tiga tahun itu merasa geli.

THEIR MERMAN [COMPLETE]Where stories live. Discover now