31. Holiday

Mulai dari awal
                                    

"Gam, pokoknya gue nggak aneh-aneh, oke? Lo kalem aja jadi pacar yang baik di situ. Nanti kalau urusan gue udah selesai, kita pasti bakalan ketemu dan selesaikan segala urusannya. Buat sekarang, bye Baaabi." Secepat kilat, Naya langsung memutuskan sambungan itu dan mengatakan pada Aro jika dirinya perlu mengambil beberapa barang. Sepuluh menit kemudian, dengan ransel berwarna biru dan langkah yang terburu-buru, ia kembali memasuki mobil dan duduk dengan tenang.

Rupanya, Aro melewatkan satu kantung plastik yang Naya bawa dan berisi banyak sekali makanan sekaligus minuman kaleng. Yang membuat heran adalah, apakah sepuluh menit cukup untuk menyiapkan semua itu?

"Seriusan lo mau ngikut?"

"Berisik. Jalan aja."

...

Satu kata yang terlintas oleh Naya ketika pertama kali naik perahu di Pantai Teluk Penyu tadi adalah, Uwaw. Baru menaikinya saja sudah membuat jantungnya rasanya ingin copot karena perahu kecil itu sudah bergerak-gerak karena ombak. Sial, Naya ingin turun dan membatalkan liburannya.

Namun, melihat Aro yang melotot dengan tas kamera yang menggantung di lehernya membuat niat Naya urung. Terlebih pada foto-foto tempat yang akan mereka tuju--yang sempat ia cek semalam. God, Naya penasaran setengah mati.

"Ini kita beneran nggak bakal kenapa-napa kan? Seriusan ini pertama kali!"

"Ora papa, Mbak. Aman. Tak jamin nang aku." (nggak apa-apa, Mbak. Aman. Saya yang jamin) Si Hendru--saudara sekaligus yang akan menjadi tour guide itu berbicara dengan bahasa yang tidak Naya mengerti. Naya pun melirik pada Aro yang menahan tawa melihat ekspresinya yang melongo.

"Hendru bilang, nggak papa. Aman, dia yang jamin. Gitu aja nggak tau lo."

"Ya salam, ya Robb, ini kenapa goyang-goyanh mulu. Diem lo, perahu!" God! Naya hampir menangis--terlebih akhirnya Aro menarik Naya untuk duduk di sampingnya. Menghadap depan.

Mereka berempat--ditambah pemilik perahu-- akan mengunjungi salah satu pantai di pulau itu, sekaligus menilik sebuah penjara bawah tanah yang sudah tidak terpakai. Naya kembali excited setelah Hendru menjelaskannya dengan bahasa yang akhirnya Naya tahu. Namun, ketika mesin sudah berbunyi dan perahu mulai di dorong, pekikan kencang tidak bisa Naya tahan. Astaga, astaga.

Naya bahkan sampai memegang erat sekali lengan Aro saking takutnya. Matanya tidak berhenti memejam, terlebih saat ombak membuat perahunya bergerak-gerak seperti akan terjungkal. Demi apa pun, Naya berjanji kalau ini pertama dan terakhirnya Naya naik perahu!

"Santai aja sih, Nay. Lengan gue sampai merah gini. Kalem aja, kita nggak bakalan jatuh. Toh bentar lagi juga nyampe. Lo nggak pengin liat kapal tangki di kanan-kiri lo yang super besar? Nggak pengin foto?"

"Berisik banget, sih. Gue takut beneran ini!"

"Iya, Mbak. Aja wedi, ngko mubah pemandangane ra dideleng nang Mbak'e sing ayu banget." (Iya, Mbak. Jangan takut, nanti mubazir pemandangannya nggak dilihat si Mbak yang cantik banget) Si Hendru cengengesan setelah mengatakannya, dan mendapati jitakan kuat dari Aro.

"Hendru ngomong apa, Ro? Astaga, ini kapan nyampainya. Gue rasanya perahu ini bakal kebalik. Gue belum nikah, Ro, belum pengin mati."

"Ngomong mulu lo, Nay. Makanya gue ajakin ngobrol, buka matanya, nanti lo nyesel nggak lihat pemandangannya. Seriusan, lo nggak bakal bisa nemu yang kayak gini di Jakarta."

Perlahan, sepasang mata yang sedari tadi sibuk memejam itu akhirnya terbuka. Masih dengan mengeratkan pegangan pada Aro yang sedang fokus melihat pemandangan hutan di sebelah kiri, dan beberapa kapal tangki di sebelah kanan. Amazing.

Let's Be Together (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang