23. Yang Paling Jahat

120K 12.3K 651
                                    

Pertama, aku mau bilang tetap semangat untuk Mak aku lynxaglaea semoga masalah plagiat-plagiat itu cepat kelar dan plagiatornya dapet hidayah supaya nggak menganggap sepele hal kayak gitu.

Happy reading dan jangan lupa voment-nya ya gais. Komen yang banyak hehe.

...

Untuk ketiga kalinya dalam semenit, Naya mendengus. Dirinya sedang bersama Agam, tetapi lelaki itu malah sangat fokus dengan ponsel--bahkan sepertinya tidak terganggu sama sekali dengan keberadaan mereka yang kini di keramaian. Tidak, lebih tepatnya di sebuah meja IYA CAFE yang terletak di sudut ruangan--yang sedikit terpencil karena tertutup tanaman hijau yang memang sengaja ditaruh di sana.

Namun, bukan hanya itu yang membuat Naya kesal pada lelaki--yang katanya pacarnya ini, adalah katanya, Agam akan mengajaknya jalan-jalan. Bukan. Lebih tepatnya adalah dirinya yang memberikan kode super keras, dan Agam hanya mengiyakannya tanpa beban. Benar-benar tipe lelaki yang tidak mau ribet berdebat dengan perempuan! Tapi, bukan hanya itu. Ada satu hal lagi yang membuat rasa kesalnya semakin menjadi-jadi. Agam hanya menggandengnya ke tempat kini mereka berada, dan memesan beberapa makanan masakan Arbi! Astaga, ini sih namanya bukan jalan-jalan! Padahal Naya sudah berdandan dengan sangat niat.

"Gam, jalan-jalannya cuma begini doang?" tanya Naya tidak habis pikir. Bibir berwarna merah merekah itu pun sudah mengerucut tiga senti.

"Tadi kan udah. Dari lantai tiga ke sini," jawab Agam ringan.

"Astaga! Niat nggak sih, ngajakin gue jalan! Nyebelin banget lo!" Naya memonjok lengan atas Agam sekuat yang ia bisa untuk melampiaskan kekesalannya, hingga ponsel yang berada di genggaman lelaki itu terlepas dan jatuh yang syukurnya ke atas meja--sampai menimbulkan bunyi yang cukup nyaring.

Agam sedikit melotot, hal yang jarang sekali lelaki itu tunjukkan padanya selama ini. God! Melotot aja ganteng.

"Bar-bar banget."

"Ya lagian elo!" Ekspresi wajah Naya terlihat semakin masam. "Katanya pacarannya sama gue, tapi berduaannya sama ponsel. Gue berasa jadi kotak tisu tau nggak? Lo lagi ngapain, sih?!"

"Ngurus sesuatu, Swastika. Buat masa depan," jawab Agam sambil kini menatap lekat wajah masam di sampingnya.

"Masa depan apa sih, Djati? Lo lagi sibuk kerja di weekend kayak gini? Ya udah sana pulang aja. Gue nggak mau ganggu yang katanya lagi--"

"Masa depan lo sama gue. Jangan berisik."

Terbatuk-batuk, Naya menatap Agam setengah tidak percaya. Itu tadi, yang ngomong Agam atau jin? Dan sungguh, meski begitu, Naya tidak bisa menahan pipinya untuk tidak bersemu. Perlahan tapi pasti, rona kemerahan itu menjalar hingga seluruh wajahnya. Bibir berbalut lipstik merah pemberian Agam pun kini menipis--lebih tepatnya ia sedang menahan kedua sudut bibirnya supaya tidak tertarik ke atas.

"Gue mau nanya."

Mendengar Agam berbicara, Naya berusaha menetralkan ekspresi secepatnya. "A-apa?" Aduh, kenapa pula dirinya harus tergagap?

"Pipi lo kenapa?"

Mendengar pertanyaan itu, secepat kilat rona kemerahan di wajahnya menghilang. Digantikan wajah memerah karena kesal. Ya menurut lo aja gimana, Djatiiiii!

Naya benar-benar dibuat kesal setengah mati dibuat oleh lelaki di sampingnya yang masih anteng menatapnya lekat-lekat. Sudah biasa. Meski sekarang rasanya tetap beda. Karena tiap Agam melakukannya, selalu ada debaran kuat yang menghantam dada. Ini ... dirinya sedang tidak jatuh cinta, kan?

Let's Be Together (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang