Bab 17

142K 14K 270
                                    


Ackerley Javier Karl, pria yang berusia 21 tahun. Salah satu pria yang mengikuti kelas akselerasi dan merupakan lulusan dari Oxford University. Dia pintar dan cerdas sehingga saat berusia 19 tahun sudah berkeinginan untuk mendirikan beberapa restoran di Indonesia. Saat ini Ackerley sedang mencoba melebarkan sayap bisnis restorannya ke beberapa negara benua Eropa.

Itu adalah data dari seorang Ackerley yang Damian dapatkan.

Oh, jangan lupakan bahwa Ackerley adalah salah satu tetangga apartemen Beby.

Dan lebih dari sekedar seorang tetangga apartemen.

Itulah yang Damian sesalkan.

"Abang marah?"

Damian melirik singkat Beby yang kini menatapnya dengan kerutan didahi. Damian menghembuskan napas kasar dan berdehem kecil.

Sementara Beby dibuat bingung. Sejak keluar dari restoran, abangnya ini menjadi sedikit pendiam. Membuat Beby ketar-ketir sendiri, takut jika ia berbuat kesalahan yang mungkin saja tak ia ketahui.

"Ehm, bang Ai itu tetangga apartemen Beby dulu. Dia baik kok sering ngasi Beby kue tiramisu waktu mama lembur kerja bahkan Beby sering main di apartemen bang Ai, abang." Walaupun tak mengerti, Beby berniat menjelaskan tentang 'bang Ai' yang tak sengaja mereka temui di restoran tadi.

Mungkinkah gara-gara itu Damian sekarang bermuka masam?

Damian tak menjawab, dia tetap memfokuskan pandangannya ke depan karena ia sedang menyetir namun indera pendengarannya tetap mendengar ucapan Beby. Damian bahkan melupakan fakta bahwa Ackerley lah orang pertama yang dipanggil 'abang' oleh Beby.

Sekali lagi Damian menghembuskan napas kasar. Apa-apaan itu, darimana nama Ackerley menjadi Ai?

Bahkan Damian berdecih sewaktu Ackerley memanggil Beby dengan sebutan bunny? Dia pikir adiknya ini kelinci? Adiknya itu lebih imut dari kelinci dan lebih manis dari madu.

"Hiks.."

Lirihan tangis itu membuat Damian tersentak kaget. Segera ia menepikan mobilnya.

Damian menoleh ke arah Beby yang kini tengah menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Damian memajukan badannya, "hey sayangnya abang kenapa nangis?" tanyanya seraya mengambil kedua tangan Beby.

Melihat pipi Beby yang basah dengan mata yang berkaca-kaca membuat sudut hati Damian terasa nyeri. Dengan lembut Damian mengusap kedua pipi Beby menggunakan jari jempolnya.

"Beby kenapa nangis?" tanya Damian sekali lagi.

Beby melirik sekilas wajah abangnya yang berjarak dua puluh senti dengannya itu. Kemudian ia menundukkan kepalanya.

"Sayang, kalau diajak ngomong sama abang lihat orangnya." Kata Damian dengan nada lembut sembari menjepit dagu Beby dan mendongakkan kepala adiknya.

Beby kembali melirik Damian singkat, lalu menatap ke segala arah asal tak bertatapan dengan abangnya. "Abang marah sama Beby?" tanya Beby hati-hati.

Sementara Damian mengernyit heran, "kenapa abang harus marah sama Beby?"

Beby mempoutkan bibirnya ketika abangnya malah balik bertanya, "gak tau. Tadi abang diemin Beby."

Mendengar jawaban Beby membuat Damian tergelak.

"Abang mana bisa marah sama Beby,"

"Jadi abang gak lagi marah?"

Damian terkekeh, "emang abang marah kenapa?"

"Gak tau," jawab Beby sambil menggelengkan kepalanya.

Beby and Brother's [TERBIT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora