empat belas

791 72 7
                                    

Ekspresi wajah Bidadari saat ini seperti orang yang sudah tertangkap basah melakukan suatu hal yang buruk. Saat ini, ia sedang duduk di salah satu gerai kedai kopi yang juga menjual donut di salah satu mall. Tapi orang yang duduk di sampingnya saat ini membuat Bidadari gelisah. Wajah Wira terlihat datar menatap pria yang duduk di depan Bidadari, pria yang tak sengaja ditemuinya setengah jam yang lalu, Edo - mantan suaminya.

Untuk check up kandungan yang baru memasuki usia tiga bulan ini, Wira tidak dapat ikut serta karena ada jadwal meeting yang tidak bisa ia tunda. Sedangkan mertuanya mendadak pergi ke Malaysia untuk menjenguk sanak saudaranya yang mendadak harus dioperasi. Kak Cinta juga berhalangan, sehingga Bidadari berhasil meyakinkan Wira untuk pergi sendiri. Dan setelahnya, Bidadari kembali ke salah satu mall yang tak jauh dari rumah sakit yang ia kunjungi, untuk menjemput Aditya yang ia tinggalkan bersama salah satu asisten rumah tangga di arena bermain mandi bola. Bidadari hanya tidak ingin Aditya ikut ke rumah sakit, takut jika Aditya akan terpapar penyakit dengan mudah mengingat usia Aditya yang masih kecil. Sedangkan Aditya tidak mungkin ia tinggal di rumah, atau Aditya akan tantrum, dan hanya wahana mandi bola adalah salah satu wahana yang dapat mengalihkan perhatian Aditya. Semuanya berjalan lancar, sampai setelah mereka selesai makan siang, Bidadari tidak sengaja berpapasan dengan Edo yang baru saja selesai meeting dengan rekan kerjanya.

Edo menyapanya terlebih dahulu, membuat Bidadari agak sungkan jika tidak membalas sapaannya. Tanpa basa-basi, Edo meminta waktu untuk berbincang dengan Bidadari. Mereka hanya berbincang seperti teman lama yang tidak berjumpa. Menanyakan kabar dan keadaan. Tidak ada menyerempet ke masa lalu ataupun hubungan mereka yang telah lalu. Hanya saja, entah mengapa Bidadari merasa tidak tenang saat Wira tiba-tiba muncul dengan ekspresi wajah yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Bidadari berpikir Wira sedang menahan emosinya saat menangkap sang istri tertangkap basah berselingkuh. Berbanding terbalik dengan Edo yang justru terlihat tenang. Bidadari yang tidak tahan dengan situasi hening saat itu, melempar pandangan pada putranya yang duduk di meja sebelah dan asik dengan robot-robotan yang dibawanya bersama salah satu asisten rumah tangga keluarga Wira. Mungkin Wira tahu keberadaannya di gerai kopi tersebut dari asisten rumah tangganya itu.

Pikiran buruk mengenai salah satu pertengkarannya dengan Edo terdahulu mengenai perselingkuhan membuat Bidadari benar-benar tidak tenang. Memang selama ini Wira tidak pernah melarangnya bergaul dengan pria atau mengatakan hal yang buruk mengenai dirinya yang berselingkuh seperti yang Edo lakukan. Tapi pengalaman yang dialaminya itu sudah cukup membekas di dalam benak Bidadari.

"Tadi apa kata dokter soal kehamilan kamu?", tanya Wira, sengaja menekankan kata 'kehamilan' sambil mengelus perut Bidadari yang masih belum terlihat menonjol. Pertanyaan yang berhasil membuat Edo cukup terkejut mendengarnya dan lalu segera mengucapkan selamat setelah berhasil mengontrol keterkejutannya itu.

Ada rasa sedih dalam hati Edo, melihat kemesraan pasangan yang duduk di depannya saat ini. Seandainya ia dulu memperlakukan Bidadari lebih baik, mungkin kebahagiaan yang nampak di matanya saat ini, menjadi miliknya. Mungkin dirinya akan memiliki banyak anak bersama Bidadari. Namun Edo segera berusaha menelan semua pemikiran tersebut. Semua yang terjadi padanya saat ini adalah akibat dari perbuatannya sendiri. Kebodohan dirinya yang membuat ia kehilangan banyak orang yang ia cintai.

"Mamaaaa..", suara menggemaskan terdengar memanggil Bidadari. Aditya segera memeluk erat Bidadari.

"Papa, nggak boleh peluk mama! Yang boleh peluk mama cuma Adit.", Protes Adit yang membuat Wira justru lebih sengaja mengeratkan pelukannya.

"Lepasin nggak pa?!", Suara Adit sudah meninggi. Namun justru semakin membuat Wira enggan melepaskan pelukannya dan justru seakan mengabaikan ucapan anaknya itu.

"Lepasinnnn!!!", Teriak Aditya yang akhirnya disusul dengan tangisan keras dari Aditya.

"Eh, Adit, nggak boleh teriak gitu sama papanya. Nggak baik. Mama pernah bilang apa sama Adit? Anak baik nggak teriak-teriak gitu ngomongnya. Sudah sini sayang.", Ucap Bidadari yang segera membawa Aditya ke dalam pelukannya, berusaha meredakan tangisnya.

"Kamu juga Wir, suka banget ngeledekin Adit. Kayak anak kecil, berasa punya dua anak deh kalau begini.", protes Bidadari saat melihat Wira yang bukan membantu membuat Aditya meredakan tangisannya, justru iseng mengganggu Aditya yang masih enggan menatap Wira.

Edo menikmati sejenak pemandangan yang ada di depannya itu kemudian melihat ke arah jam tangannya dan memutuskan untuk pamit. "Bi, Wira, saya pamit duluan yah. Mau balik lagi ke kantor."

"Oh ya Do. Hati-hati.", Sahut Bidadari sekilas lalu sibuk kembali menenangkan Aditya yang masih menangis di dalam pelukannya. Edo hanya tersenyum tipis, tidak akan ada lagi panggilan abang untuknya dari Bidadari, ataupun panggilan sayang lainnya. Sepertinya dirinya harus mulai mencari pengganti Bidadari dalam hatinya, ia juga ingin merasakan kehangatan keluarga kecilnya sendiri. Ingin seperti Wira yang bisa mengganggu anaknya sendiri. Lagi-lagi Edo teringat dulu ia nyaris memiliki anak, kalau bukan karena kebodohannya, mungkin saat ini Edo sedang menggenggam tanganbmungil anaknya. Edo menatap sejenak ke arah telapak tangannya. "Memang belum saatnya", guman Edo sembari menuju area parkir mobil.

***

Baru kali ini Bidadari merasakan kecanggungan saat bersama Wira. Wira tidak banyak mengajaknya berbicara pasca Edo pamit. Berbeda 180 derajat dibandingkan saat masih ada Edo duduk bersama mereka.

"Wir, kok tumben kamu diam saja?", Tanya Bidadari setelah berhasil menenangkan Aditya yang kini sudah tertidur dalam pelukannya.

"Nggak. Sudah kan? Kamu masih mau mampir ke mana nggak?", Tanya Wira yang dijawab dengan gelengan pelan dari Bidadari.

"Sini, Adit aku gendong aja.", Wira mengambil Aditya dari pelukan Bidadari kemudian bangkit berdiri.

"Yuk pulang.", Ucap Wira tanpa menoleh ke arah Bidadari, namun masih memastikan bahwa Bidadari mengikuti permintaannya.

"Wir, kamu marah sama aku ya? Kalau kamu kesal sama aku, lebih baik kamu omelin aku langsung, jangan dingin gitu ke aku.", Batin Bidadari, namun Bidadari memilih untuk memendam pikiran tersebut. Hatinya merasa gelisah.

Dalam perjalanan pulang pun, Wira tetap diam seribu bahasa. Baru kali ini Bidadari menghadapi sosok Wira yang pendiam. Biasanya pasti ada saja yang Wira bahas. Bidadari bisa menduga ini semua ada kaitannya dengan pertemuannya dengan Edo. Bidadari hanya bisa menghela napas dalam saat Wira seperti menghindarinya saat di rumah. Babak baru gejolak batin Bidadari sepertinya segera dimulai.

Halloo...
Masih ada yang menunggu kelanjutan Bidadari? Kayak ada yg nunggu aja ya, setelah menghilang beberapa bulan..

Terima kasih loh buat yangasih nunggu dan mau baca kelanjutannya. Walaupun pendek.

Ditunggu kritik dan sarannya.

God bless.

25.11.2020
Siska.

Kedua (Sekuel Bidadari the Ugly Duckling)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang