sebelas

784 83 0
                                    

"Mama, Adit mau makan coklat.", Rengek Aditya di pagi hari membuat kepala Bidadari rasanya mau pecah. Sudah beberapa hari ini kepalanya terasa sakit dan merasa mual. Bidadari mengingatkan dirinya untuk memarahi Jerry yang seminggu lalu memberi Aditya makan coklat tanpa seizinnya. Semenjak itu Aditya selalu meminta coklat.

"Sayang, mama bilang apa kemarin? Kalau makan, nggak boleh pilih-pilih. Lagian kemarin kan sudah dibelikan papa coklat. Jadi untuk hari ini nggak ada coklat. Kalau Aditya nurut, nanti hari Minggu mama beliin Adit coklat. Sekarang Adit makan yang ada aja yah.", Bidadari mengelus kepala sang anak berusaha memberi pengertian. Wajah Aditya saat ini sudah ditekuk, mungkin persis dirinya dulu jika tidak dituruti keinginannya untuk makan sesuatu. Bidadari terkekeh pelan, dari sekian banyak yang bisa diturunkan kepada sang anak, justru yang diturunkan adalah kegemarannya untuk makan manis dan cemberut jika apa yang diinginkan tidak didapat. Walaupun begitu, Aditya masih berusaha menyantap bubur ayam yang sudah disiapkan.

Usia Aditya saat ini sudah tiga tahun. Karena Aditya cucu pertama di keluarga Sudrajat, dan masih cucu satu-satunya, sehingga keluarga Sudrajat sangat memanjakan Aditya. Putra juga sangat memanjakan Aditya. Jangan lupakan Jerry dan Tommy. Kadang Bidadari tak habis pikir. Ketiga pria itu ikutan terlalu memanjakan putranya dan tak pernah terlihat membawa seorang wanita pun. Apa mereka tidak ingin punya anak sendiri yang akan mereka manjakan. Oh, jangan lupakan Wira yang memanjakan Aditya. Kalau saja tadi Wira belum berangkat kerja, Bidadari yakin Wira akan segera menuruti permintaan Adit untuk makan coklat.

"Bida, kok muka kamu pucat sih nak?", Tanya ibu Wira yang muncul dan duduk di sebelah Aditya. Sepertinya sang ibu mertua ingin menemani cucu kesayangannya sarapan.

Perasaan mual kembali mendera Bidadari. Sepertinya ia masuk angin. "Kayaknya masuk angin deh, ma.", Sahut Bidadari berusaha menahan mual yang membuatnya ingin memuntahkan sesuatu.

"Ma, Adit sudah selesai makan. Sekarang sudah hari Minggu belum ma?", Tanya Adit yang membuat Bidadari tersenyum tipis kemudian mengacak pelan rambut sang anak.

"Anak pintar. Tapi hari ini belum hari Minggu Adit. Jadi Adit harus sabar yah.", Bidadari mengecup pipi gembul putranya dan membersihkan wajah serta tangan Aditya yang kotor sewaktu makan.

"Memangnya kenapa hari Minggu, Bi?", Tanya mama Wira heran.

"Tadi Adit minta coklat ma. Aku bilang ke Adit kalau nurut, nanti hari Minggu aku beliin coklat. Gara-gara Jerry tuh ma ngasih coklat minggu lalu tanpa sepengetahuanku, padahal aku baru mau memperbolehkan Aditya makan yang manis-manis kalau sudah lima tahun. Sekarang sedikit-sedikit Adit minta coklat.", Keluh Bidadari yang diikuti anggukan mengerti dari sang ibu mertua.

"Ya sudah, kamu istirahat gih. Kamu pucat banget loh. Atau kamu mau ke dokter biar mama temanin kamu?" Bidadari menggelengkan kepalanya pelan.

"Cuma masuk angin ma. Istirahat sama minum obat juga sembuh nanti. Aku titip Adit ya ma. Maaf ngerepotin.", Pamit Bidadari menuju ke kamarnya. Saat ini ia benar-benar butuh istirahat.

Bidadari terbangun saat merasakan sentuhan lembut di kepalanya. Samar-samar ia mendengar namanya dipanggil.

"Loh, kok tumben kamu sudah pulang?", Tanya Bidadari saat melihat Wira saat membuka matanya.

"Kamu sakit, hmm? Kata mama kamu tidur dari pagi. Kita ke dokter aja yuk.", Ucap Wira. Bidadari melirik jam dinding di kamar mereka, jarum pendeknya sudah di angka 6.

"Ya ampun, sudah malam. Aku belum mandiin Adit, Adit belum makan.", Bidadari segera bergegas bangkit dari tidurnya. Namun Wira akhirnya menahan Bidadari.

"Adit sudah mandi. Tadi waktu aku pulang, mama lagi suapin Adit makan. Kamu yang belum makan dari siang kata mama." Bidadari hanya bisa mendesah lega. Dalam hati teringat bahwa justru ia belum makan dari pagi. Tadi ia terlalu mual untuk makan.

"Kamu masih nggak enak badan? Habis makan kita ke dokter yah.", Ucap Wira kembali yang ditolak oleh Bidadari.

"Nggak usah Wir. Aku sudah enakkan kok habis tidur. Kamu mau mandi? Aku siapin baju ganti kamu dulu.", Bidadari segera bergegas menyiapkan pakaian ganti untuk Wira dan untuk dirinya. Ia akan mandi setelah Wira selesai. Ia akan pergi mengecek keadaan Aditya terlebih dahulu.

***

Langkah Bidadari terhenti saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari ibu mertuanya. Ia ingin mendengar jawaban dari Wira.

"Wir, kamu nggak berencana nambah momongan lagi?" Wira terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab pertanyaan ibunya itu. "Kayaknya enggak deh ma. Aku rasa satu saja sudah cukup. Aku masih trauma lihat Bida koma kemarin."

Bidadari segera menuju ke dapur dan membuang benda yang ada di genggamannya. Semalam, Ivanka yang datang berkunjung menyarankan Bidadari untuk tes kehamilan. Mengingat Bidadari bercerita padanya hanya merasa mual di pagi hari. Dan pagi ini, Bidadari menguji kehamilan menggunakan lima testpack yang Bidadari dapatkan dengan bantuan Ivanka secara diam-diam untuk memastikannya. Rencananya Bidadari ingin memberikan kejutan untuk Wira jika memang ia positif hamil. Hasilnya semua positif. Namun kegembiraan Bidadari langsung lenyap saat mendengar jawaban Wira  yang tidak ingin Bidadari hamil kembali.

Bidadari bergegas kembali ke kamar dan menumpahkan kesedihannya. Hatinya terasa sedih sekali. Ia takut jika Wira tahu mengenai kehamilannya, Wira akan memintanya untuk menggugurkan kandungannya. Ia harus bisa menyembunyikan perihal kehamilannya dari Wira dan yang lain.

Di satu sisi, saat Bidadari tidak tahu dirinya hamil, Bidadari justru akan setuju dengan pendapat Wira untuk menambah momongan. Bukan karena ia pernah koma, melainkan ia merasa kasihan pada Aditya yang masih kecil dan baru saja menikmati perhatian utuh dari kedua orang tuanya akan terpecah jika bertambah satu anggota keluarga yang baru. Tapi saat ia sudah tahu mengenai kehamilannya, entah mengapa ia juga merasa senang saat mengetahuinya.

Bidadari mendengar namanya dipanggil oleh Wira. Segera ia menghapus air matanya dan segera beranjak masuk ke dalam kamar mandi. Takut jika Wira masuk ke kamar dan melihat ia menangis. Ia berusaha menarik napas dalam secara teratur untuk memperbaiki moodnya. Ia harus menunjukkan dirinya terlihat baik-baik saja. Mungkin saja testpack yang tadi ia gunakan semuanya rusak. Lebih baik, besok ia melakukan pemeriksaan di rumah sakit. Mungkin saja hasilnya justru sebaliknya.

"Tenang Bida. Tenang. Hasilnya nggak seratus persen akurat. Wira sayang sama kamu makanya dia nggak mau kamu hamil lagi. Kamu juga masih merasa Adit terlalu kecil dan kamu merasa cukup dengan adanya Adit. Senyum Bida!", monolog Bidadari di depan cermin sambil memaksakan senyuman di wajahnya, lalu membuang ke empat testpack yang ada di atas wastafel ke dalam tempat sampah. 

Ditunggu kritik dan sarannya yah gengs.

God bless.

12.07.2020
Siska.

Kedua (Sekuel Bidadari the Ugly Duckling)Where stories live. Discover now