12. sometimes they can be so overthinking

6K 775 47
                                    

Suara eongan kucing yang beradu dengan suara reporter laki-laki dari televisi-lah yang mengisi ruang tengah rumah minimalis dua lantai itu. Kemudian derap langkah manusia ikut menyemarakkan berserta dentingan cangkir keramik yang beradu dengan sendok alumunium. Adalah Senandika versi kusut yang malam itu membiarkan ruang tengahnya dalam keadaan berantakan.

Semuanya tak lain tak bukan karena pertemuannya dengan Merakai petang tadi.

Ah sial! Senandika merutuk dalam hati. Menyadari kebodohannya yang bahkan lebih bodoh dari seorang murid yang sudah tinggal kelas berkali-kali. Bagaimana bisa dirinya lupa akan cara dan langkah-langkah yang harus dilewati ketika hendak mendekati seorang perempuan. Apalagi yang sekelas Renjana.

Bayangan wajah Renjana dan Merakai bergantian menyambangi otaknya. Sial! Bahkan Senandika sempat hendak terbang ke langit ke tujuh ketika Renjana berlutut di hadapannya demi untuk melihat luka di lutut Senandika.

Merakai bilang dia datang bersama teman, tapi kenapa Renjana bilang, "capek, yang."

"Arggghhh!" serunya sambil mengacak rambut. Kini puncak kepalanya bahkan sudah sama acak-acakan seperti apa yang terjadi di atas sofa.

Kemudian Senandika ingat bagaimana nada bicara yang digunakan Renjana ketika berbicara dengan Merakai. Manja? Merengek? Lembut? Bersahabat? Entahlah, yang pasti nada bicara itu tidak pernah Renjana gunakan acap kali berbincang dengan Senandika. Dan ia menginginkan hal itu. Ia ingin Renjana merengek dan bermanja padanya. Tapi ... memang dia siapa?

Senandika lupa first thing that a man must do when he has a crush on a girl is to make sure that she's still single. Actually, he didn't do that. Senandika let himself being so stupid. It's not cool for God's sake. Dia bahkan tak punya muka untuk menampakkan diri di depan Renjana.

"Aisssh!" Kembali dia mengeluh. Entah keluhan keberapa yang didapatnya sejak pulang dari GBK tadi. Dia pun memilih duduk di sofa yang sudah sangat berantakan itu. Dia bahkan membiarkan luka lecet di lututnya begitu saja dalam keadaan terbuka dan tanpa ada niat untuk menutup dengan plester atau apapun.

Terlalu larut dalam pikiran dan rutukan atas dirinya sendiri, ia pun jatuh tertidur beberapa menit setelahnya. Entah karena sakit hati atau kelelahan. Yang pasti ia terbangun karena ketukan pintu dan pencetan bel berulang kali.

Sialnya saat Senandika buru-buru bangun, kepalanya kepalang pusing dan ia pun limbung. Duak! Keningnya terantuk ujung meja kopi.

Lalu ketukan mulai terdengar dari kaca jendela di belakangnya.

"Siapa sih?!" ia berteriak sambil mengusap keningnya yang nyut-nyutan.

"Ini aku, Ka!"

Baru matanya benar-benar terbuka ketika mendengar sayup-sayup suara yang tak asing tersebut. "Bentar!" Senandika bangkit perlahan-lahan. Ia berjalan merambati tembok karena rasa pening dan keningnya yang masih begitu sakit.

Suara gerendel kunci yang diputar dua kali kemudian pintu terbuka mengantarkan Senandika untuk menemui Swastamita yang berdiri di depan rumahnya.

"Lama banget sih. Aku udah sepuluh menit, Ka, berdiri di sini. Kamu ke mana sih? Masa jam segini--eh eh!" Omelan Swastamita terhenti ketika Senandika menjatuhkan kening ke atas pundaknya.

Bobot tubuh Senandika yang jauh lebih besar dari miliknya membuat Swastamita mundur beberapa langkah ke belakang. Mereka bisa saja jatuh tersungkur kalau Swastamita tidak berpegangan pada handel pintu.

"Kamu kenapa?" tanya Swastamita panik.

"Aku pusing, Ta," jawab Senandika dengan suara serak.

"Aduh. Ya udah, masuk-masuk. Tapi jangan gini dong kamu tuh berat."

Days After We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang