TUJUH

14.1K 581 13
                                    

Jangan baper ya :D


Elijah POV

Aku terbangun karena cahaya matahari memasuki sela tirai kamarku. Aku memeluk sisi kiriku. Hillary sudah tidak berada di sana untuk waktu lama. Spotnya terasa dingin. Aku bangkit dan menggosok gigiku dan mencuci muka. Aku meraih celana training dan kaos hitamku. Kakiku melangkah menuju dapur. Dari ruangan itu aku bisa mendengar suara ibuku dan Hillary yang tertawa ringan. Suara tawanya bagai nyanyian tentram burung di pagi hari.

Saat aku sudah berada di pintu dapur, ibuku dan Hillary menoleh seketika. Hillary terlihat ceria mengenakan dress floral berwarna kuning, membuat kulitnya semakin terlihat bercahaya. Rambut panjangnya yang bergelombang sebatas pinggang di biarkan terurai membuatnya terlihat bagai boneka.

Ibuku tersenyum lebar sambil mengedipkan mata memberiku kode mengenai Hillary yang masih menatapku. Itu adalah signal yang mengatakan bahwa ibuku menyukai Hillary. Aku tersenyum kecil dan menghampiri Hillary. Tubuhnya kuraih dengan lengan kiriku, tangan kananku meraih wajahnya dan mengulum bibirnya lembut. Hillary tampak terkejut dan hanya diam mematung. Kedua tangannya yang kecil menetap di kedua dada bidangku.

"Ibumu di sini." Bisiknya dengan wajah merona malu. Aku menyukai wajah meronanya. Kukecup puncak kepalanya dan kembali memeluknya erat.

"Mami sudah terima detailnya dari Ardinata. Setelah kalian membeli cincin hari ini, Mami akan mengajak Hillary untuk melihat gaun pengantinnya."

"Tak masalah."

"Euhm." Hillary mengelus dadaku mengisyaratkan dia ingin berkata sesuatu. "Aku tak perlu pesta yang meriah. Mungkin syukuran saja sudah cukup."

Ibuku menatapnya tak percaya, aku tertawa kecil melihat ekspresi ibuku. "Oh Darling... Mami tidak akan mengijinkannya. Mami menolak 100% idemu itu! Kalian harus menyelenggarakan pesta sebesar-besarnya. Akan banyak tamu kehormatan yang datang." ibuku menggebu-gebu. Terlihat sekali ibukulah yang begitu bersemangat mengenai pernikahan ini, Hillary justru terlihat hanya menginginkan sesuatu yang sederhana. Hillary mulai merapatkan tubuhnya kearahku, merasa terintimidasi dengan sikap terang-terangan ibuku. Kupeluk tubuhnya semakin erat sembari mengecup puncak kepalanya lagi. Telapak tangan kiriku mengelus lembut punggungnya menenangkan.

"Hillary perlu bersosialisasi dalam keluarga kita, Mi. Beri dia waktu." Aku tersenyum kecil. Hillary menuntunku kearah bangku dan mulai menyiapkan sarapan pagi untukku. Aku menahan tangannya ketika akan mengambil piring berisi makanan dari tangan pelayanku. Hillary menatapku bingung. "Biarkan mereka bekerja. Itu tugas mereka." Kataku dingin. Pelayan yang berdiri tak jauh dari Hillary segera mengambil piring tersebut dari tangan Hillary terburu-buru.

"Ma..maafkan saya Tuan, Nyonya." Katanya hormat dengan wajah pucat.

Wajah Hillary tiba-tiba menjadi mendung, meski dia berusaha mengubah mimik wajahnya karena ibuku berada tepat di seberang meja di hadapannya. Sepanjang sarapan itu Hillary hanya menunduk dan menjawab satu-satu pertanyaan ibuku. Mataku tak henti memperhatikan perilakunya. Setelah selesai, Hillary berjalan terlebih dahulu menuju kamar kami. Aku mengikutinya setelah memberikan instruksi kepada Ardinata untuk menyiapkan mobil. Aku menemukannya terduduk di tempat tidur kami termenung. Wajah cerianya pagi ini tergantikan dengan wajah sedihnya.

"Katakan padaku apa yang mengganggumu." Aku berdiri menjulang dihadapannya. Aku tidak menyukai wajah murungnya. Mendadak aku sangat memperhatikan detail yang terjadi padanya meski dari hal kecil. Hillary menengadahkan wajahnya dan menatapku sedih, tak ada kata yang terlontar. Mata sayunya hanya menatap lurus mataku.

"Tidak ada." Hillary bangkit dari duduk dan melaluiku. Aku meraih lengan kanannya dan membuatnya berhadapan denganku face to face. Tubuh depan kami saling menempel erat.

Girl In White Lingerie (COMPLETED)Where stories live. Discover now