32. Nomor Satu

21 2 0
                                    

Keesokan harinya, seperti biasa Alsa bangun lebih awal karena gelisah yang ia alami. Pagi itu ia segera melanjutkan power point yang akan ia persentasikan hari itu juga. Ia mempelajari kembali materi yang akan ia persentasikan dan berulang kali bolak-balik kamar mandi hanya untuk berlatih di depan kaca.

"Alusa, what are you doing?" tanya Celine yang baru saja bangun

"I am nervous Cel...." Alsa memanyunkan bibirya

"Me too...."

"So you're trying to remember all your presentation..."

Alsa menganggukkan kepalanya

"Huh.. I'll try my best, no matter what the result"

"Yes, such a good thing"

Celine langsung bernajak dari kasurnya menuju meja di depan kasur, kemudian ia meyalakan water heater.

"berapa suhu pagi ini ya?" Celine mengutak-atik layar handphonennya

"Diluar suhunya -8 derajat" sambungnya

"Ah...dingin sekali" Alsa mengernyitkan dahinya, membayangkan betapa dingin diluar sana

"Aku tidak ingin mandi"

"Aku juga" balas Alsa

Mereka berdua pun tertawa.

Pagi itu, perut kosong diisi dengan teh hangat yang disediakan di kamar hotel. Setelah bersiap-siap, mereka pergi ke restaurant untuk menikmati santapan pagi yang sesungguhnya. Alsa sudah tidak mempedulikan lagi materi persentasinya, mungkin dia sudah pasrah saja dengan keadaan. Begitu pula dengan Celine, bahkan gadis Hongkong ini sama sekali tidak menyentuh persiapan persentasi.

Kegiatan dimulai pukul 10 pagi waktu Sapporo di gedung yang sama dengan tempat mereka menginap. Ballroom hotel sudah disulap penuh dengan kursi untuk para tamu undangan. Manusia dari berbagai negara berkumpul di dalam ruangan besar itu. Lampunya bersinar terang dengan pernak-pernik lucu yang sengaja disiapkan oleh panitia. Hingga tiba waktunya, semua peserta harus berpisah menuju ruangan masing-masing yang sudah ditentukan. Waktu semakin dekat. Gadis dengan penampilan blezer hitam itu semakin acuh tak acuh. Ia hanya ingin tenang sebelum dibantai pada waktu berikutnya. Tidak bisa juga disebut pasrah degan keadaaan, ia berusaha semampunya, setidaknya ia menyiapkan payung sebelum hujan. Saat itu, dia hanya yakin dengan kemampuannya.

Panitia di depan sana sibuk menggoncang-goncang sebuah toples bundar bersamaan dengan butir-butir styrofoam. Sedetik kemudian, seorang wanita cantik itu mengangkat mic-nya lalu bersuara,"Riene Oktriasanabila..", gadis kecil itu kini menjadi pusat perhatian seisi ruangan. Ia harus tampil pertama kali dipagi hari yang agak sial ini. Ia menghela nefasnya sejenak lalu beranjak dari kursi tempat duduknya dibarisan paling belakang. Semua audeince memberikan tepuk tangan, barangkali sebagai aprsesiasi karena telah berani maju untuk pertama kalinya.

Lima belas menit yang cukup membuat kepalanya sedikit panas. Tapi, itu sudah cukup melegakan baginya ketika juri tidak memberikan pertanyaan di luar topik pembahasan. Pengalaman sebelumnya, ia pernah di bantai oleh semua juri karena pertanyaan-pertanyaan yang mengecoh lalu membuatnya menangis dan meyumpah di balik ruangan. Ya itu hanya masa lalu yang sudah sangat lama sekali. Masih ada waktu sekitar dua jam lagi agar semua persentasi di ruangannya selesai. Gadis itu izin pergi ke toilet. Namun, ia tidak kembali lagi ke ruangan. Matanya sudah terlalu jatuh cinta dengan pemandangan salju yang turun di luar sana. Mereka datang bersamaan lalu hinggap di bumi dan menyatu dengan sekawanan mereka yang sebelumnya sudah jatuh lebih dulu.

"Hey, are you okay?"

Suara itu membuyarkan lamunan Alsa. Ia menolehnya gugup lalu tersenyum patah-patah.

"you look really enjoy with the view"

"Ah... yes, this is my first time seeing the snow"

"Really? Where do you come from?"

"Indonesia" Alsa tersenyum

"Ah, Indonesia..."

"Maybe, you can take a glass of coffee to enjoy it" pria itu tersenyum manis.

"Sure.." Alsa mengangguk kemudian mengikuti saran pria bule yang baru saja menyapanya.

Ia meracik kopi susu untuk dinikmati sambil melihat hujan salju di luar sana.

"Where do you come from?" tanya Alsa sekembalinya ia ke tempat awal ia bertemu dengan pria itu.

"The Netherland..." ia tersenyum kembali

"Oh.. and your name?"

"Max.."

"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Max dengan penasaran.

"Aku bosan di dalam ruangan"

"Lalu kenapa kamu ada di sini?"

"Aku melihatmu keluar lalu aku keluar" jawabnya dengan nada polos

"Hah? Kenapa bisa begitu?" Alsa penasaran

"Ya karena di dalam membosankan, aku melihat ada peserta lain keluar lalu aku ikut keluar"

Alsa tertawa kecil, "Seharusnya kita tidak menyia-nyiakan kesempatan"

"Lagipula aku tidak percaya aku akan masuk babak 10 besar"

"Sama aku juga" balas Alsa bersemangat

"Di mana teman-temanmu?"

"Teman?"

"Maksudku tim mu"

Alsa menggelengkan kepalanya, "Aku datang sendirian"

"Benarkah?" Max terlihat kaget dengan jawaban Alsa

"Memangnya kenapa?"

"Kamu terlihat seperti anak kecil. Apa kamu tidak takut?"

Alsa menggeleng lagi

"Kamu sungguh berani" kali ini Max yang menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kan setiap orang punya ketakutan yang berbeda"

"Betul sekali.."

"Tahun depan aku punya rencana mau ke Bali. Liburan keluarga"

"Sounds good"

"Aku juga ingin pergi ke Netherland"

"Mau apa?"

"Ada saudaraku dan papa. Mereka tinggal di Leiden tapi sepertinya tidak mungkin"

"Kenapa tidak mungkin?"

"Ada banyak alasannya. Belum tentu juga papaku ingin bertemu denganku"

"Semoga suatu hari nanti bisa yaa"

Seseorang melambaikan tangan dari arah pintu ruangan. Dia adalah teman Max, mengisyaratkan mereka berdua untuk masuk kembali ke dalam ruangan. Ternyata, kegiatan persentasi peserta sudah dilakukan. Hanya menunggu hasil pengumuman babak selanjutnya. Ya, dia sendiri sudah merasa gagal kali itu. Tiba-tiba saja Elvan menelpon,

"Gimana hasilnya?"

"Belum tahu. Tapi, pasti gak lanjut sih.." jawab Alsa cengengesan

"Kenapa bisa gitu?"

"Ya bisa lah"

"Nanti minum kopi yukk"

"Bolehh.. Di mana?"

"Ada kafe di dekat hotelmu"

"Okeeeee. Sebentar lagi kegiatanku selesai nih, bye bye"

"Bye Alsa!"

Telepon tertutup.

WALLFLOWERWhere stories live. Discover now