10 | CYWSIS

558 128 26
                                    

"Penyesalan selalu berada diakhir, akhir dari awal perjalanan kita"

.

.


____________

* * * *

Dinding bercat putih lusuh yang sisi-sisinya mulai terkelupas dimakan waktu, deretan panjang bangku besi berkarat, lantai yang dingin, dan kesunyian yang menjalar, menjadi teman tiap detik-detik panjang Jimin. Pria pemilik senyum terhangat itu tak lagi hangat, ikut membeku bersama waktu, dan suasana.

Jari-jari bertautan gusar, ada sesak-sesak aneh setiap kali bernafas. Untuk menutup mata saja takut, takut terbayang sesuatu yang tidak di inginkan. Jika nyawa bisa seberhaga ini, seharusnya dia tidak main-main dengan kehidupan.

Penyesalan memang selalu berada ditempat terakhir, bersama kesedihan.

Rambut pirangnya sudah tidak terurus lagi, baju putih yang dipakai sudah hampir berubah warna menjadi merah, merah darah.

Jika tautan di jari terlepas, maka kedua tangannya akan bergetar hebat, dan nafasnya mulai bertambah sesak.

Jika bisa memilih, Jimin tidak akan mau berada dimensi waktu ini, tidak akan mau.

"Jim, jimin?" sentuhan pelan terasa, jimin tersontak kaget saat mendapati Seulgi sudah duduk disampingnya, bersama tatapan aneh.

"Ada apa?" tanya rekan wanitanya itu pelan.

Jimin menggelengkan kepala, mulutnya kelu untuk bersuara.

Seulgi mengeluarkan satu bungkus roti dengan merk yang tidak dikenal, menatap makanan murah itu sesaat sebelum akhirnya memberikannya pada Jimin. Namun, tidak ada respon untuk sekedar menyambut makanan itu, hanya termenung sampai membuat Seulgi menatapnya penuh cemas.

"Hei, kamu kenapa sih jim?" tanya seulgi sekali lagi, berharap kali itu Jimin mau menjawabnya lewat kata-kata.

Tapi tetap saja pria bersurai pirang itu diam, membisu.

Lampu-lampu temaram menjadi pelengkap nuansa sedih menguasai, ada satu dua orang berlalu lalang, kemudian kembali sepi melilit suasana. Seulgi tidak lagi menuntut jawab atas kekhawatirannya pada kondisi Jimin. Karena mereka berdua sepertinya sama-sama perlu dikhwatirkan.

Seulgi menghelah nafas panjang, udara dingin memasuki rongga pernafasan. Mungkin saking sepinya tempat mereka berdua sekarang, dia bisa mendengar dikejauhan jika seorang melangkah mendekat.

Ruang tunggu rumah sakit itu, layaknya pemakaman di malam hari.

"Makan, kamu bisa sakit nanti" Seulgi meraih tangan Jimin bersama jari-jarinya yang bertaut, melepasnya paksa dan menaruh bungkusan roti itu.

Seketika tubuh Jimin menegang hebat, dengan keringatnya mulai mengucur dipelipis. "Lepaskan aku seul" jimin bersuara serak menatap tajam seulgi, degub jantungnya berpacu melebihi normal.

"Tapi kamu belum makan sejak pagi tadi Jim" dan bukan Seulgi jika tidak keras kepala, wanita itu tetap kukuh memberikan bungkus roti itu pada Jimin.

"Seul, aku mohon"

Seulgi melepaskan genggaman tangannya, setelah melihat wajah putus asa yang diperlihatkan jimin. Kesedihan apa yang tengah terjadi, itu membuat Seulgi ikut merasakan. Dan juga untuk pertama kalinya Seulgi melihat Jimin menderita sampai menggigil hebat, dinginnya kenyataan yang menyelimuti mereka.

"Operasi anak kecil itu berhasil, dia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap untuk tahap penyembuhan. Ada taehyung dan Jisoo yang menunggu disana"

Jimin mengangguk pelan, menghelah nafas pelan, satu sesak berhasil lolos di dada. Getaran dikedua tangan tidak sehebat tadi, walau pikiran tetap saja perlahan menyakiti. Ucapan syukur berulang kali dirapalkan walau hanya sebatas didalam hati.

Can You Saw What I See ✔ Where stories live. Discover now