Bagian 2 (Meeting Julian)

Mulai dari awal
                                    

Dia berjalan mendekatiku, suara gaun tebalnya yang bergesakkan dengan lantai membuatku merinding. "Kau sudah membaik?" Caranya bertanya mengingatkanku pada figur seorang Ibu.

Baiklah, aku meralat bahwa Sang Ratu adalah sosok ketus, harus kuakui dia juga cukup perhatian padaku. Hanya saja dia memiliki caranya sendiri. Aku harus belajar menghargai karakter setiap orang.

Menelan ludah dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. "Lumayan. Hanya punggungku terkadang masih sakit, tapi itu bukan masalah." Aku meruntuk dalam hati, seharusnya aku berterima kasih padanya karena jika bukan karena tumbukan ramuan buatannya yang selalu dioleskan ke tubuhku, aku pasti masih terbaring lemah di ranjang. Kecelakaan itu memang benar-benar membuat separuh tubuhku terluka parah. Aku nyaris seperti orang lumpuh, jangankan berjalan, untuk mandi dan buang air pun aku selalu di bantu oleh para gadis pelayan kerajaan.

Dia tersenyum puas. "Kau tak perlu berterima kasih. Aku melakukan ini untuk putraku yang tinggal satu." Aku terkejut saat dia bisa membaca pikiranku, dan aku sedikit bertanya-tanya mengapa diasedikit memberi tekanan ketika mengucapkan kata 'satu' pada akhir kalimat. "Tidak perlu terkejut, para Volter memang bisa membaca pikiran, terkadang." Kedua baru Ratu Lavina terangkat anggun.

Aku mengigit bibir bawahku karena malu. "Julian, ergh, maksudku, pangeran Julian. Mengapa dia memilih untuk melanggar hukum perbatasan hanya untuk mengawasiku?" tanyaku yang sudah tak tahan. Pertanyaan ini benar-benar sulit membuatku tidur.

Lavina tertawa pelan, lalu jari-jari mulusnya terulur ke dagu lancipnya. "Kenapa tidak kau tanyakan langsung saja pada Pangeran?" Itu bukan sebuah jawaban. Melainkan, sebuah saran, atau bahkan tantangan, aku berfikir begitu karena aku melihat sebelah alis wanita itu sedikit terangkat.

"Jadi, dia sudah berada disini? Dimana dia?" Aku sendiri terkejut mendengar ekpresiku yang mungkin terlampau antusias.

"Dia sedang di kamarnya. Jangan terlalu mendesaknya, dia baru saja kembali dari Recovery Room. Ah, dan jangan terkejut karena...." Sang Ratu menggantungkan ucapannya, sukses membuatku penasaran. Dia lantas mendekatkan bibir merahnya di telingaku, lalu berbisik, "karena..." Aku berusaha menarik nafas, "Karena ternyata kamarnya di sebelah kamarmu."

Baiklah, aku memang sedikit terkejut, lalu aku mengikuti kedua pasang bola mata milik Ratu yang bergeser ke kanan. "Temui dia, dan jangan bilang aku menyuruhmu. Aku yakin, kekuatan mendengarnya tidak setajam sewaktu dia sehat sepenuhnya," bisik Ratu semakin lirih. Dia seperti sedang menghipnotisku, meskipun sebenarnya tidak.

Lantas aku mengangguk samar dan sang Ratupun tersenyum bangga padaku. "Gadis pintar."

"Jadi, kau sudah mengizinkanku keluar dari penja... ergh, maksudku, kamar ini?" Hampir saja aku mati berdiri. Ah, aku harus lebih bisa mengontrol diri di sini.

"Tentu. Tapi kau masih dalam pengawasan, dear." Dia sempat melemparkan sebuah tatapan perirangatan padaku sebelum akhirnya sosoknya perlahan menghilang dari balik pintu kamar.

Aku menarik nafas dan mencoba untuk tetap terlihat baik-baik saja. Aku lantas menoleh pada cermin besar yang ada di sudut kamar dan melihat penampilan diriku yang sekarang. Sebuah gaun putih lengan tulang dengan motif kepang sederhana, namun bersih dan rapi kini membalut tubuhku. Rambutku coklatku terurai melewati bahu dan aku tidak terlihat terlalu buruk. Hanya saja mungkin agak kuno, namun harus kuakui bahwa ini juga terkesan klasik.

Aku menarik nafas pelan, mencoba untuk fokus ke depan cermin sembari menatapi sosok gadis yang sedang berdiri di depanku. Penampilannya terlihat begitu lawas, aku nyaris tak mengenalinya sama sekali. Tidak ada polesan apapun yang melekat di wajahnya seperti dulu. Namun anehnya wajah gadis itu terlihat jauh bercahaya dan polos.

The Last SaverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang