"Udah balik cerah," bisikku pada Oli yang masih berdiri di depan kubikelku.

"Udah restock Gryphon tea 'kan kemarin belanja mingguan." Oli yang selalu punya jawaban.

"Lagian Tian bangun tidur ngeteh, berangkat ke kantor ngopi. Masih sehat itu lambung?"

"Doain aja enggak."

***

"Beb, makan siang di mana?"

Aku melihat Jam Casio di pergelangan tangan kiriku. Memang sudah jam makan siang.

"Kantin aja deh, malas keluar," usulku.

"Sama banget! Gue pun lagi malas keluar duit."

Aku memilih membuka ponsel saat menunggu pesanan. Lucunya, tujuanku tidak lain tidak bukan adalah pesan-pesan dari Rian. Rian lagi dan lagi. Mood-ku sedang gandrung padanya.

Pria ini berusia 35 tahun, bekerja di OJK, pemakai PSK, agak narsis, ramah—oh aku mulai beropini. Kemarin dia menawariku pertemanan. Hal itu bisa-bisanya membuatku sangat antusias. Bahkan yang kami lakukan ini—bertukar pesan—sempat membuatku ingin berharap. Berharap nanti akan ada perubahan pada kecenderunganku 'menghindari' pria.

Aku kembali memikirkan itu. Apa aku iyakan saja ajakan berteman itu? Namun, dengan resiko dia ternyata hanya berbohong tentang dirinya, atau bahkan dia punya niat buruk padaku. Pikirkan itu, aku saja masih belum tahu nama aslinya. Oh, tapi aku punya alamat apartemennya!

Are you married?

Ketikku dan kukirim. Aku cuma memastikan aku tidak berdiri di antara sebuah hubungan.

Astaga, Ca, dia menawarimu pertemanan! Bukan kencan!

Aku tergelak melihat jawabannya sesaat kemudian.

Kalau saya sudah menikah dan memiliki istri, kemungkinan 99,99% kamu tidak mendapat pesan nyasar dari saya empat hari yang lalu.

Masuk akal juga.

Tipikal suami setia?

Personal branding atau flirting, nih?

Aku menggigit bibir saking menahan emosiku yang terlalu excited.

But, maaf nih, you hire a sex worker

Makanan kami datang. Aku meletakkan ponselku dan mulai makan. Saat merasa Iza terus memperhatikanku, aku menatapnya. "Kenapa?"

"Lo ngelirik hp mulu, Beb. Nunggu chat siapa? Si stranger itu?"

"Enggaaaaak. Group WA keluarga kok," bohongku lancar. Tanpa bermaksud apa pun, aku hanya malas dikatai konyol. "Za, menurut lo cowok yang nyewa PSK itu gimana?" tanyaku iseng selang beberapa detik kemudian.

"Wih, ngapain keluarga lo bahas gituan?"

Aku nyengir. "Ya, lo emang nggak tahu keluarga gue se-progresif apa? Bahasannya, isu-isu sosial, ekonomi, hubungan internasional, climate change."

"Pret!" potongnya.

"Ih, nggak percaya," kekehku. "Jawab yang tadi dong, gue mau tahu pendapat lo." Serius, aku mau tahu pendapat orang lain soal itu dan aku cuma berani bertanya hal seperti ini pada Iza.

"Ya, tergantung alasannya aja lah. Cowok single apa married?"

"Kalau belum married?"

"Nggak punya pacar?"

Aduh, aku lupa bertanya. "Ya, anggap aja punya."

"Pacarnya nggak mau diajak ewita? Aduh, kasian si cowok deh harus keluar duit tiap horny." Iza tertawa heboh sendiri.

456Where stories live. Discover now