Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi

456-VIII

29.5K 3.4K 142
                                    

Setelah sekian tahun lamanya tidak merasakan perhatian lelaki, atau tidak mau lebih tepatnya, pagi ini Rian berhasil membuatku merasakan hal itu lagi. Karena pesannya. Pesan perhatiannya yang datang pagi-pagi sekali, menanyakan apa aku sudah berangkat kerja dan mengingatkanku untuk sarapan.

Aku tersenyum salah tingkah membacanya. Rasanya cukup menghibur dengan lebih banyak rasa hangat. Oh My Goodness, what is that?

Apa semua wanita merasakan gejala yang sama denganku—perut seperti digelitik dan pipi terasa demam—jika pagi-pagi buta sudah mendapat perhatian semacam ini dari lawan jenis? Atau sebenarnya perhatian seperti ini hal biasa dan aku yang berlebihan bereaksi pada pesan itu?

Tidak kusangka pertanyaan-pertanyaan itu ditanyakan olehku—wanita dewasa yang sudah berusia dua puluh delapan tahun. Gosh! Ini membuatku kembali sadar aku memang sudah terlalu lama menyendiri dan terlalu jauh menarik diri dari pergelutan mencari pasangan. Bukannya selama ini aku tidak sadar. Terkadang hal itu hanya luput dari pikiranku karena ada banyak hal lain yang menggesernya. Namun, cukup dengan pemicu-pemicu kecil saja aku bisa kembali menyadari—bahkan bisa sampai merasa tersentil dengan kesadaran itu.

Dan sekarang aku mulai menyadari hal lain saat sensasi hangat masih terasa mengeram di dadaku begitu aku membaca pesan ini untuk yang kesekian kalinya. Bukan kah ini jadi sebuah anomali?

Aku mencari dalam ingatanku, apakah ada lelaki yang pesannya pernah dan bisa memberiku sensasi seperti ini? Dan seingatku, tidak ada.

Hal itu terus memenuhi pikiranku selama aku bersiap sebelum ke kantor. Dia mendadak sangat lekat di antara otak dan mulutku.

Sepertinya, aku bahkan tergoda untuk menaruh harapan pada-nya.

What?

Wait! Aku saja terkejut dengan pemikiran itu. Oke.

Aku tahu, aku terdengar seperti wanita 'entah' dan mabuk kan? Dengan Oli yang sudah kukenal selama empat tahun dan enam bulan lalu mengajakku kencan saja aku menolak, aku tidak mau berharap. Lalu sekarang dengan Rian yang tidak jelas wujudnya, yang intensinya padaku sama sekali bukan ke arah sana, aku mau mencoba berharap?

Aku pasti mabuk, benar. Jadi lupakan saja itu!

***

"Semalem gue mules gara-gara drama si cunguk satu ini." Oli baru kembali dari pantry dan langsung menyinyir di depan kubikelku. Tak ketinggalan, sambil menunjuk-nujuk Iza dengan kesal.

Sementara Iza hanya cekikikan di kubikelnya. Sudah membuat empat rekan kerjanya kesal, dia malah dirundung happy karena kemarin Dion melamarnya setelah drama prank yang tidak ingin lagi kuingat itu.

Oli mencomot keripik dari topless di mejaku. "Enaknya diapain ini orang, Ca?"

"Dikawinin dong, Li," canda Iza sontak mengundang pelototan dan makian Oli. "Gue kebiri lo lama-lama, Za."

"Morning all." Tian datang dan seperti biasa menyapa semua orang, membuat kami semua menoleh, dan Oli melupakan niatnya mengebiri Iza. "Makan apa, Li?" tanya Tian basa-basi setelah dekat dengan kubikelku. Kedua tangannya memegang kopi, sudah seperti latah.

"Ini? Keripik nol kalori-nya Caca. Apa namanya, Ca? Fitchips?" Aku mengangguk.

Tian cuma manggut-manggut. "Jangan lupa habis lunch break kita meeting buat program CSR!" katanya sambil menaruh kopi di meja Iza.

"Oke, Pak."

"Makasih, Pak!"

"Yoi, Za." Tian berlalu ke ruangannya.

456Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang