Kutatap Oli yang dengan santainya menyuap pecel lele ke mulut, sementara yang lain menanggapi dengan kekehan biasa. Oliver terlalu sering menggodaku begitu sampai hal itu menjadi seperti nasi bagi orang-orang yang mendengar—seperti makanan sehari-hari. Sementara aku yang memiliki pengalaman pribadi dengannya jelas tidak.

Oli selalu menggodaku begitu bukan murni sebuah candaan. Dia memang mempunyai ketertarikan padaku. Dia pernah mengakui perasaannya padaku dan mengajakku berkencan enam bulan lalu, tapi aku menolaknya.

Ada hubungan profesionalitas di antara kami yang tidak ingin kucampuri dengan afeksi lain. Sejak awal memasuki dunia kerja, aku memiliki prinsip tidak akan menjalin hubungan non-profesional yang terlalu jauh dengan rekan kerjaku. Selain itu, aku juga belum tertarik dengan hubungan seperti itu meski usiaku sudah di pangkal dua puluhan.

Dan hal yang paling menyebalkan dari itu semua, Oli tidak berhenti sampai di sana.

"Iya, ya, kenapa lo nggak sama Oli aja sih, Bu?" Fabi menimpali.

"Nah, kan." Oli berseru semangat. "Mending sama gue daripada sama gay."

Mending? Aku hanya mendesah malas mendengar kata itu. Mending adalah kata yang terlalu politis untuk urusan memilih pasangan. Mending A daripada B seolah pilihan sangat terbatas. Hanya A atau B seolah dalam rentang waktu ini hanya dua pilihan itu yang ada di depan mata. Tapi bagaimana kalau ternyata keduanya bukan yang kucari? Dan bagaimana kalau ternyata saat ini aku memang tidak mencari?

Memilih pasangan jelas tidak bisa dipadankan dengan memilih calon Presiden dalam Pemilu. Pemilihan Umum selalu ditentukan waktunya dan waktu yang disediakan untuk memilih dibatasi. Aku harus memutuskan untuk memilih di antara pilihan capres-cawapres atau legislatif yang ada saat itu. Konsep mending sangat relevan di sini.

Berbeda dengan memilih pasangan. Tidak ada waktu tenggat untuk memilih pasangan, dalam kamusku. Aku boleh memilih hari ini atau tiga tahun lagi atau lima tahun lagi. Pilihanku tidak terbatas pada saat ini. Aku bisa mencari yang benar-benar kucari. Sampai benak dan pikiranku terisi penuh dengan keyakinan kalau aku sudah mendapatkan apa yang kucari itu. Aku akan memilihnya karena dia yang kucari, bukan hanya karena dia mending daripada yang lain saat ini.

Setidaknya itu yang jadi prinsipku selama ini. Pada realitanya aku memang belum mencari—atau memang tidak.

"Bayangin lo jadi Iza. Parah kan? Orang Iza lihat lo pakai make up bukannya muji cantik, malah dia iri dengki." Oli masih melanjutkan banyolannya yang sekarang membuatku benar-benar tertawa.

Iza mendelik tak terima. "Gue doain lo lepas lebaran haji jadi gay! Dapet botty gue!"

"Aamiin!"

"Anjing, ogah, amit-amit!"

"Tapi Oli emang gay-able, nggak sih, Za? Tampangnya, badannya, karismanya." Fabi kembali menimpali dengan tawa.

"Idaman, Cyn."

"ANJING!"

Setelah itu Iza dan Fabi makin semangat merundung lelaki itu. Oli meskipun bukan homophobic, tapi terlihat sekali dia sebenarnya kurang nyaman dengan hal-hal yang berkaitan dengan LGBT. Apalagi kalau Iza sudah menggodanya dengan hal-hal yang menyerempet topik LGBT dan menjadikan Oli objek, dia bisa sangat marah. Serius, sangat marah.

Kupikir itu wajar sekali. Meski dia juga tahu Iza pasti hanya bercanda, tapi bercanda pun ada ukuran, ruang, dan sentimen masing-masing orang yang tidak bisa dipaksakan antara orang satu dan yang lain.

Tidak harus menerima atau menolak konsep LGBT itu, kamu tetap boleh marah kalau merasa tersudut atau tidak suka dijadikan objek bercandaan LGBT. Marah karena diperlakukan seperti itu, bukan marah karena anti dengan LGBT-nya, itu pendapatku.

456Where stories live. Discover now