21. Kuda Poni

441 42 1
                                    

Jadi pengen nyemplung.

Ke kasur maksudnya.

Wajah gue tadi tiba-tiba panas, satu jam yang lalu, sih.

Sekarang suasana udah kembali normal. Juan malah ketawa lihat wajah gue yang merah, emang nggak ada akhlak, ya.

"Pulang yuk, udah jam sembilan nih." Gue menatap ponsel untuk melihat jam.

Juan masih memegang botol soda yang sudah tidak ada isinya. Memainkannya asal.

"Jun!" teriak gue di dekat kuping cowok itu membuatnya terperanjat kaget.

Gue refleks tertawa saat dia mengusap wajahnya.

"Elo, ngagetin gue mulu sih!" Juan mendengus dengan wajah kesalnya.

"Abis lo nggak dengerin gue," ucap gue mendelik.

Juan berdiri lalu melangkah ke arah tong sampah untuk membuang botol.

Gue masih diam di kursi, pandangan gue berhenti ke arah dalam minimarket, di dekat jendela tempat aksesoris, ada sebuah gantungan kunci berwarna ungu, pink, dan kuning. Itu kuda poni, nggak terlalu suka karakter itu sebenarnya, tetapi entah kenapa tiba-tiba senyuman gue terbentuk melihat itu.

Warnanya bagus, ceria gitu. Lalu mata gue beralih menatap Juan yang ternyata juga sedang memperhatikan gue di depan. Sesaat pandangan kami bertemu, gue diam saat menatap mata teduh Juan. Ada rasa hangat yang menyeruak begitu saja, apalagi entah sadar atau nggak bibir Juan melengkung membentuk sebuah senyuman. Meski tipis, tapi masih bisa terlihat karena jarak kami yang lumayan dekat.

"Elo mau?" tanyanya membuyarkan pemikiran gue yang sudah ke mana-mana.

Gue mengerjap membasahi bibir. "Apaan?" tanya gue pura-pura nggak tahu.

"Tuh," jawabnya menunjuk gantungan kunci kuda poni itu dengan dagunya.

Gue menggeleng cepat. "Nggak suka," jawab gue seadanya.

Juan mengerutkan bibirnya. "Tapi kayaknya tadi lo terpana gitu liatinnya."

"Gue cuma—" ucapan gue terhenti saat tiba-tiba Juan berdiri lagi dan melangkah masuk ke minimarket membuat gue mengernyit bingung.

Gue lihat Juan mengambil gantungan kunci itu lalu memberikan uang pada pelayan minimarket. Dia suka kuda poni, ya?

Gue masih memperhatikan Juan sampai dia kembali ke posisi awal, duduk di depan gue.

Lalu cowok itu menyodorkan gantungan kuncinya ke arah gue.

"Buat gue?"

Juan hanya mengangguk.

"Gue nggak suka lho," ucap gue masih bingung menatap gantungan kunci yang kini sudah beralih ke tangan gue.

"Kadang hal yang nggak  disuka bisa menjadi milik lo suatu saat nanti."

Gue diam mencerna kata-kata Juan. Maksudnya apa, ya? Kok gue nggak ngerti.

"Thank."

Meski begitu gue tetap menerimanya. Lumayan juga buat hiasan di tas yang resletingnya sangat polos.

"Kenapa tiba-tiba lo kepikiran beli ini?" tanya gue penasaran, "ah, pasti lo inget seseorang ya, kayak di cerita-cerita gitu, mantan? Gebetan, atau pacar?"  Gue tertawa dengan kata terakhir yang gue ucapkan. Padahal gue tahu Juan itu jomblo.

"Keliatan banget meledeknya," ucap Juan mendengus, lalu cowok itu mengalihkan pandangannya ke jalan.

"Ya aneh aja, tiba-tiba lo beli ini. Biasanya lo selalu minta izin kalo mau kasih atau ngajak gitu."

Gue terdiam saat melihat wajah Juan yang tidak secerah tadi, ada kerapuhan di matanya.

Mengikuti arah pandangan Juan. Ada sebuh pohon besar yang sepertinya itu pohon kelengkeng, tetapi tidak ada buahnya.

"Gue hanya inget seseorang," ucapnya pelan, tapi gue masih bisa mendengar itu.

Gue masih terdiam untuk mendengar Juan melanjutkan ucapannya.

Cowok itu tersenyum tipis, lalu mendengus.

"Ternyata bener ya, sesuatu terlalu digenggam kuat akhirnya akan lepas juga."

Gue tertegun dengan ucapan itu. Terdengar dalam.

Ini beneran Juan, 'kan? Cowok yang selalu pecicilan saat bertemu dengan gue. Kok tiba-tiba jadi aneh begini, matanya itu, nggak kayak biasanya yang selalu menatap jail. Ini ada yang beda dari Juan, dia sedih. Itu yang dapat gue simpulkan saat ini.

Gue nggak mau terlalu berurusan sama dia. Jadi gue hanya diam tanpa bertanya lebih lanjut.

"Yuk lah balik aja, nanti bokap lo marah sama gue kalo pulang terlalu malem."

Juan berdiri lalu memakai jaketnya dan membenarkan letak topinya.

Menghela napas, gue ikutin Juan menuju parkiran. Untuk saat ini, mungkin cukup hanya  mendengarkan dia tanpa banyak tanya, gue nggak mau terlalu ikut campur dalam masalah orang lain lagi. Gue takut.

___

"Lo langsung pulang, ntar dimarahin mama lo kalo telat pulang." Gue terkekeh geli saat melihat Juan mendengus kesal.

"Ya udah, masuk lo sana. Jangan kangen sama gue," ucapnya tersenyum jail. Dia sudah kembali lagi ke yang asli.

Gue hanya memutar bola mata malas, lalu berjalan dan menutup pagar. Juan sudah menghidupkan motornya saat gue berada di dalam rumah. Sebelum menutup pintu gue menatap Juan sebentar, dia menghela napas panjang. Lalu cowok itu mulai menjauh.

"Asik banget, ya, jalannya."

Gue terperanjat saat mendengar suara berat itu. Memutar tubuh, tersenyum manis menatap cowok tinggi di hadapan gue.

"Apa sih, biasa aja." Gue berjalan menuju sofa lalu meminum teh yang ada di sana, mungkin punya Bang Albi.

Diam. Gue membuka ponsel sebentar sebelum beranjak ke kamar. Melirik Bang Albi yang masih merhatiin gue.

"Apa?" tanya gue menaikan alis.

"Rigel tadi ke sini."

Pergerakan gue yang sedang mengetik tiba-tiba terhenti saat mendengar itu. Tatapan gue beralih ke Bang Albi yang masih menatap gue dalam.

Dia menghela napas berat. "Cerita sama Abang, Dar. Ada apa sebenarnya sama kalian bertiga?"

Gue mengerutkan kening bingung, nggak ngerti sama ucapan Bang Albi yang ambigu.

"Maksud Abang apasi?"

Lagi-lagi Bang Albi menghela napas. "Kamu masih cinta, 'kan sama Rigel? Terus kenapa malah deket sama cowok lain?"

Gue menatap ke arah lain, mencoba menenangkan hati yang ternyata masih merasa sakit saat mengingat itu. Cinta, Rigel.

"Abang nggak tau apa-apa, ini urusan Adara."

Gue berdiri bermaksud beranjak ke kamar sebelum pertahanan gue runtuh. Tetapi ucapan Bang Albi selanjutnya membuat gue kembali diam nggak berani membantah sedikitpun.

"Kamu yang nggak tau apa-apa, nggak tau alasan Rigel sebenarnya, 'kan?" Bang Albi menegakkan badannya, "sebagai kakak, Bang Al nggak akan diam aja kalo ada yang berani nyakitin kamu, selama ini abang jaga kamu biar baik-baik aja, Bang Al ikut campur sama urusan kamu, itu wajar karena abang sayang sama kamu. Bang Al udah janji untuk menjaga kamu dari apapun saat kamu baru dilahirkan."

Gue diam. Pandangan gue jatuh pada tangan Bang Albi yang perlahan merentangkan tangan buat gue maju menubruk dada bidang dia. Sekarang, air mata gue udah jatuh.

"Maaf kalo abang berlebihan sama kamu, abang sebagai yang paling tua harus menjaga adik-adiknya termasuk Ardian."

Gue udah nggak bisa membantah, perkataan Abang selanjutnya buat gue menjerit dalam diam.

"Jauhin kedua cowok itu, abang nggak mau kamu sakit hati karena cowok."


•••

To be continued

Adara, Ayo Move On (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang