32. Patah hati terhebat

863 50 2
                                    

Aku pernah merasakan sakitnya patah hati, tetapi tak ada yang lebih sakit melainkan orang yang kita cintai perlahan mulai menjauh.

___
______
___


Gue mempercepat langkah menuju toilet. Membuka pintu dan untungnya tidak ada siapapun di dalam.

Menatap cermin, lalu menyalakan keran, membasuh wajah yang mulai memerah karena mengeluarkan air mata.

Gue memegangi dada yang terasa sesak. Menahan suara tangis agar tak terdengar keluar.

Kenapa sesakit ini sampai gue menangis?

Apa benar hati gue masih milik Rigel seutuhnya?

Gue menggeleng. Ini pasti karena kebohongan gue yang berpura-pura pacaran sama Juan.



Menghela napas. Gue terdiam menatap bayangan diri di cermin.

Kenapa kisah cinta gue serumit ini di masa SMA?



"Adara."

Gue menoleh ke belakang.

Fara menatap gue lalu cewek itu memeluk gue erat.

Kita sama-sama diam beberapa saat, sampai akhirnya air mata gue kembali keluar. Ini nggak lebai. Ini soal perasaan.

Gue nggak bisa kayak gini.

Akhirnya gue jujur.


"Kita cuma pura-pura."

Fara hanya diam. Melepaskan pelukannya lalu menatap gue.

Cewek itu mengangguk. "Gue tau," ucapnya pelan, "gue udah menduga dari awal, gue tau lo nggak akan mungkin kayak gini."

Fara tersenyum membuat gue sedikit tenang. Tangannya mengusap lembut punggung gue, lalu membawanya keluar.

Tetapi tiba-tiba cewek itu meletakkan tangannya di leher gue, memitingnya keras.

"Elo tuh kenapa sih, selalu bikin gue khawatir. Selalu bikin kejutan, cape tau jantung gue," teriaknya menekan kepala gue.

Gue hanya tertawa pelan dengan perlakuan Fara. Gue benar-benar bersyukur memiliki sabahat seperti Fara, dia selalu bisa mengerti gue saat keadaan apapun.

"Tadinya gue nggak akan cerita sama lo tau nggak," ucap gue meliriknya.

Fara mengangguk. "Oh lo mau main rahasiaan sama gue," ucapnya kesal.

Gue lagi-lagi terkekeh. "Iya maaf, nggak jadi, gue nggak tenang kalo nggak cerita sama elo," ucap gue menggandeng tangannya erat.

Fara hanya menggeleng sambil mengacak rambut gue.

"Baik-baik ya, hati lo."

Sampai tiba di depan kelas. Gue menghela napas menatap Fara yang tersenyum lalu mengangguk.

"Inget, yang bagus aktingnya," ucap dia menepuk bahu gue pelan.

Gue memasuki kelas dengan wajah datar, tak menatap siapapun.

Hingga laki-laki tinggi dengan jaket yang masih melekat di tubuhnya itu mendekat ke arah gue.

"Elo ... berita itu nggak bener 'kan?"

Gue menatap Laskar tanpa ekspresi. Lalu beralih pada anak-anak kelas yang ternyata juga lagi natap gue.

Ini kenapa gue kayak anak bungsu yang lagi diinterogasi sih?

Adara, Ayo Move On (END)Место, где живут истории. Откройте их для себя