43. Rasanya...

500 38 2
                                    

Gue mencoba tersenyum menatap diri di pantulan cermin, rasanya beda banget.

Karena gue kira ini mimpi.

Tapi ternyata, gue terbangun dengan hati yang masih terasa sakit.

Kayaknya, hari-hari gue bakal beda lagi.

Juan udah nggak sama, nggak akan lagi sapaan nggak jelas dari cowok itu, nggak akan ada lagi panggilan dari cowok itu, bahkan nggak akan ada lagi paksaan yang buat gue kesel tapi selalu gue iyain.

Tetapi bukankah ini yang gue harapkan dari awal?

Setelah lomba itu selesai, semua kembali lagi ke awal, gue nggak kenal sama itu cowok, nggak ada apa-apa diantara gue sama Juan bahkan dari awal gue udah bilang, setelah lomba selesai semua akan berakhir.

Ternyata benar, ucapan adalah apa yang akan terjadi nanti.

Kalo aja gue nggak bilang itu, apa ini semua tetap akan terjadi?

Apa gue akan tetap nggak tau apapun?

Anggap aja gue nyesel pernah bilang itu.

Ternyata rasanya sesesak ini.

Tanpa sadar gue udah terisak lagi.

Menghela napas. Gue keluar kamar, mencoba tersenyum ketika bokap udah di depan kamar gue. Merangkul gue pelan buat gue menggigit bibir bawah.

"Nggak papa," kata ayah tersenyum natap gue yang masih diem, "kamu udah usaha, urusan menang enggaknya, itu udah biasa," lanjutnya.

Ibu dari arah dapur natap gue. Tersenyum gitu aja.

"Kok tumben, sampe nangis gini?" tanyanya buat gue natap ibu bingung, "biasanya kalo kalah juga kamu nggak nangis kayak gini lho."

Gue membelalak.

Tersadar dengan sikap mereka.

Lah?

Gue kira apa.

Gue tersenyum tipis akhirnya. "Ini kan yang terakhir kali," kata gue merengek kecil.

"Kak Dara!"

Gue menoleh ketika suara anak kecil terdengar. Menatap Ardian yang lagi lari kecil ke arah gue dengan tangan memeluk bucket bunga diikuti Kak Albi di belakang.

"Congratulation kakakku yang cangtip," kata Ardian dengan terbata menyodorkan bucket bunga ke gue.

Gue terkekeh pelan mengambil itu dari tangan Ardian.

"Thanks, adikku yang bawel," kata gue mencubit pelan pipi anak itu buat dia merenggut kecil.

"Ayah anter ke sekolah, ya," kata ayah, gue cuma ngangguk ngikutin ayah keluar.

"Abang aja yang anter, yah. Sekalian mau liat sekolah, kangen juga."

Kompak, gue dan ayah berhenti di depan pintu, menoleh pada Bang Albi yang natap heran kita berdua.

"Nggak papa, kan? Lagian udah lama nggak nganter Adara," katanya lagi.

"Tapi Abang naik motor, takutnya telat kayak dulu lagi," kata gue mengingat kejadian dulu.

Ah, iya, gue sedikit berterima kasih sama Bang Albi.

Kalo waktu itu enggak telat masuk sekolah, mungkin gue nggak bolos sama Juan.

Kayaknya sekarang gue cuma bisa mengenang kejadian itu.

"Justru naik motor bisa bebas Adara, lagian deket ini sekolahnya," kata Bang Albi lagi.

Adara, Ayo Move On (END)Where stories live. Discover now