"Tidur gih," ucapnya dengan lembut, karena tidak tega melihat gadis-nya yang tengah menahan kantuk.

"Aku punya hutang penjelasan ke kamu," menatap mata Adrian dalam, membuat Zya dan Adrian saling menatap lekat. Lama? Sangat lama, lebih dari 5 menit.

"Aku percaya sama kamu Zya," satu kalimat yang mampu memecah keheningan, dan pengalihan pandangan.

"Kalau percaya, kenapa kamu pergi ninggalin aku di rumah sakit pas sore?" Layaknya menginterogasi, Zya mulai menanyakan hal yang menjadi tanda tanya besar dibenaknya.

"Karena aku, aku tidak tau Zya. Aku tidak tau, apa alasan yang tepatnya. Yang aku tau, saat itu aku merasa sakit. Bukan sakit di kepala, tangan, atau kaki. Melainkan, sakit di sini." Tunjuk Adrian pada bagian atas perutnya yang sebelah kanan.

"Maafkan aku Adrian, aku tau aku salah. Tapi, apakah salah menolong seseorang yang tengah sakit dan terbaring lemah seperti itu?" Kembali menatap mata Adrian lekat, berharap menemukan sesuatu untuk jadi jawaban dari pertanyannya itu.

"Tentu nggak, nggak salah ko Zya. Cuman aku yang salah, terlalu terbawa perasaan," senyum hangat Adrian yang ditujukan pada Zya dengan begitu tulusnya itu. Membuat Zya, kembali tersenyum tipis.

"Udah jadi kebiasaan kamu, saat aku ngelakuin kesalahan. Pasti kamu bakal ngelak, bakal nganggap bahwa diri kamu yang salah. Hey ... liat aku, liat aku, Adrian. Aku tau sebesar apapun kesalahanku, kamu akan tetap menganggapku benar. Dan kamu? Kamu akan selalu menganggap, bahwa diri kamu yang selalu salah. Come on, jangan bertindak seperti itu, Adrian. Seakan-akan semuanya telah berlalu, dan yang salah hanya kamu selalu. Kamu tau kan? Bahwa aku, aku tidak membenarkan setiap tindakan yang sudah jelas salahnya. Seperti kata orang, cewek selalu benar. Itu salah, yang benar itu. Cewek selalu salah, begitupun sebaliknya, cowok selalu salah." Dengan penuh perhatian Zya berbicara seperti itu, berharap Adrian bisa mengerti dengan maksud yang dikatakannya.

"Iya, Zya. Aku tau, tapi memang aku yang salah hari ini. Bisa-bisanya, aku ninggalin kamu yang tertunduk lemah di taman rumah sakit. Maaf ya, maaf karena udah buat kamu sedih, udah buat kamu khawatir, udah buat kamu nahan kantuk seperti sekarang ini,"

Adrian idaman banget emang. gumam Author di sela-sela kegiatannya.

"Biar aku jelaskan semuanya Adrian, supaya kamu bisa paham, dan mengerti tentang yang terjadi tadi siang hingga sore,"

"Nggak perlu Zya, aku tau. Aku tau, dan aku paham. Sudahlah lupakan masalah ini, sana pergi tidur." Usir Adrian segera mendorong Zya untuk naik ke lantai dua, menuju kamar Zya. Dengan gelagapnya, Zya berusaha membuat Adrian berhenti untuk mendorong dirinya untuk pergi kamarnya, namun tidak bisa. Tangan Adrian, benar-benar membuat Zya hanya bisa bungkam dan mengikuti arah yang ditujukan.

"Nah, udah sampai Sayang. Tidur gih," ucapnya sembari tersenyum manis di pintu kamar Zya.

"Aku kan udah bilang Adrian, kalo-,"

"Iya iya, aku tau Zya. Nggak mau dipanggil Sayang kan?"

"Bukan nggak mau Adrian, tapi nggak enak didengernya. Emang kita suami istri?" tanya Zya dengan wajah cengo-nya.

"Iya kan, kan kita calon suami istri," dengan percaya dirinya Adrian mengatakan kalimat 'calon suami istri.'

"Eh apaan si, kamu ini," ucap Zya malu-malu, dengan pipi yang sekarang ini sudah merah semu.

"Tapi, iya kan? Memang seperti itu, setelah kita gapai cita-cita kita, kita akan menikah nanti,"

Iya, yu nikah yu Adrian. Lagi-lagi Author hanya bisa bergumam dan berharap:v

Pergi Hilang Dan Lupakan [ ON GOING ]Where stories live. Discover now