Gadis Bermata Biru Amber

57 1 0
                                    

Sesampainya di Hamedan, kota perhentian selanjutnya- Khafa memerintahkan Taysir untuk menunggu di tempat penitipan kuda. Ia melihat wajah kelehan menggelayut pada kawan perjalannya itu. Ia sangat maklum, perjalan ini memang berat. Humadan berjarak 192 mil dari Saveh, dibutuhkan waktu hingga dua setengah hari sebelum akhirnya mereka bisa tiba dikota Hamedan ini. Perjanalanan yang hanya disisipi tidur dimalam hari dan empat kali pemberhentian untuk istirahat. Meskipun demikian, tidak pernah terdengar sedikitpun keluhan dari Taysir, ia selalu bersikap tunduk atas apapun yang khafa perintahkan.

Setelah berpisah dengan Taysir ditempat penitipan kuda, Khafa berjalan dengan cepat melewati jalan-jalan Hamedan.

Baru saja ia berjalan sekitar 700 yard, pandangan mata Khafa justru terhenti dan tertuju kepada dua orang lelaki yang mengelilingi seorang perempuan disalah satu gang tak jauh dari tempatnya berdiri. Gang itu cukup kecil, diapit oleh bangunan bertingkat dua disisi-sisinya. Kedua pria itu tampak sedang menyudutkan sang wanita diantara jalan keluarnya. Tidak ada jalan manapun untuk wanita itu kabur. Sang wanita berusaha melepaskan tangannya yang berusaha ditarik paksa oleh salah seorang pria dihadapannya. Khafa mendekati kerumunan itu, jaraknya kini tak lebih 2 yard sehingga ia bisa melihat mereka dengan jelas.

Kedua pria itu berpakaian cukup rapih, mereka mengenakan jubbah terusan berwarna hitam, sorban dan mantel hitam yang biasa disebut thaylasan. Meraka tampak bukan seperti orang jahat, namun lelaki yang terus mencengkram tangan wanita itu memiliki perawakan keras dan kasar. Ia tampak tidak sabaran dan memaksa sang wanita untuk mengikutinya. Sementara pria lainnya, yang memiliki badan lebih tambun terlihat memiliki ekspresi sedikit iba dengan campuran rasa takut dan bingung. Lelaki pemaksa itu memiliki tinggi lebih dari 6 kaki, berbadan kurus dengan tulang lengan dan urat-urat tangan yang menonjol. Pria yang lainnya bertubuh gemuk, perutnya buncit dan pipi tembam seolah-olah seluruh makanannya menggumpal dipipinya.

Melihat kehadiran Khafa, Gadis bertudung hitam dengan wajah seputih batu pualam itu, berteriak dengan bahasa arab yang Khafa pahami sebagai permintaan tolong.

"Tuan, kumohon tolong aku" gadis itu memelas, wajah ketakutan tampak jelas dimatanya dibawah terik sinar matahari kota Hamedan.

"Hei, Apa yang sedang kalian lakukan terhadap gadis itu!" ucap Khafa dalam bahasa Persia. Khafa melesak mendekat dan mengarahkan tinju kedapan pria bebadan tambun yang terdekat dari jaraknya. Pria tambun itu menghindar dan menempatkan Khafa diantara mereka bertiga. Lelaki berbadan kurus itu dengan refleks melepaskan genggamannya, memberikan jarak antara Khafa- wanita itu, dan dirinya.

"Hei pemuda, jangan ikut campur dengan urusan kami, pergi kau dari sini!" Lelaki kurus itu menghardik dengan ekspresi kesal. Menolak untuk menjauh, lelaki itu mulai mengeluarkan serangan dengan memberikan pukulan yang membuat Khafa harus menghindar.

Pertarungan sengit mulai terjadi, beberapa kali Khafa menghindari tonjokkan dari tangan berurat lelaki kurus. Sesekali ia menangkis dengan menjadikan tangannya bantalan tonjokkan musuhnya. Dalam beberapa kesempatan Khafa juga membalas dengan pukulan yang membuat pihak lawan mundur beberapa langkah. Lebih dari lima belas menit pertarungan berlangsung, tetapi jalan keluar juga belum kunjung terlihat. Serangan datang silih berganti dari lelaki kurus dan lelaki tambun. Sementara wanita arab itu masih dibelakang tubuhnya mengawasi setiap kesempatan untuk melarikan diri. Khafa terus menangkis serangan yang ditujukan kepadanya.

Khafa mulai kelelahan, nafasnya mulai tersengal-sengal. Ia tidak terlalu sering berlatih untuk menghadapi musuh atau berolahraga gulat. Dibandingkan terjun kemedan perang, Khafa lebih menikmati menghabiskan waktunya diruangan sang ibu, yang kali ini mulai terasa ia sesali. Andai ia juga berlatih sesekali, pastilah ia tidak akan secepat ini kehabisan nafas. Khafa kembali memasang kuda-kuda pertahanan, sementara wanita arab itu merapat dibalik punggungnya. Khafa menatap awas dua lawan dihadapannya yang juga dalam posisi bertahan. Kedua kubu menunggu, siapa yang akan lebih dulu maju menyerang kembali. Harus diaku, Khafa tidak pandai dalam perkelahian langsung, terlebih dengan tangan kosong. Tetapi, mengeluarkan belati kepada musuh yang tidak menggunakan senjata apapun, ia rasa itu bukan pertarungan yang seimbang.

HudanWhere stories live. Discover now