HUDAN

115 4 0
                                    

"Ibu..." Khafa berteriak tepat saat ia terbangun dari mimpi buruknya. Bahunya berguncang karena nafas yang naik turun tidak karuan. Dadanya memburu dengan ritme yang tidak biasa. Bulir-bulir peluh mengalir dengan deras dari keningnya. Mimpi itu terus merasuki tidurnya disetiap malam, bahkan setelah lima belas tahun berlalu. Hingga kini, setelah ia menjadi pemuda berusia 25 tahun, tetap saja mimpi nyata itu masih membuat nyalinya berulang kali menciut.

Wajah sang ibu yang tergeletak tak bernyawa dalam ruangan yang penuh gas beraroma busuk, terus membayang-bayanginya. Kematian sang ibu, pada akhirnya dinyatakan sebagai kasus bunuh diri oleh pemerintah. Hal itu dikarenakan dalam mulut sang ibu terdapat zat beracun yang sama dengan botol yang berada dalam genggamannya.

Khafa jelas tidak mempercayainya, terlalu banyak kejanggalan yang terjadi saat itu. Setelah dewasa dan memahami bahwa racun yang digunakan sang ibu adalah cairan Hydragyrum5. Ia semakin yakin, kasus ini bukanlah kasus bunuh diri seperti yang dituduhkan pada sang ibu. Bunuh diri dengan meminum Hydragyrum bukanlah cara yang akan seorang ilmuwan seperti ibunya pilih. Racun itu, akan menyebabkan kebas, dan rasa terbakar dimulut, bahkan sebelum ia mampu menegak habis seluruh isi botolnya. Belum lagi, ruangan yang penuh dengan aroma busuk dari gas belerang6. Untuk apa Ibu harus melakukan itu semua?

"Tidak mungkin, ibu tidak mungkin bunuh diri!" Bisik Khafa meyakinkan dirinya. Ia lantas mengusap mukanya dan mencoba mengabaikan semua mimpi-mimpi itu. "Aku harus memeriksa ruang kerja ibu sekali lagi." ucapnya, sebelum memutuskan untuk bergegas keluar dari kamar.

Setelah membilas tubuh dan merasa lebih segar, Khafa menemui bibinya yang sedang menggiling gandum. Sejak kematian sang Ibu, Khafa dibesarkan oleh bibi dari ibunya. Madaram Arash begitulah orang-orang memanggilnya, karena ia pernah memiliki anak bernama Arash yang meninggal saat umur 4 tahun. Semenjak itu, Bibi Khafa hanya tinggal bersama sang paman tanpa memiliki anak lagi. Kehadiran Khafa jelas menjadi keponakan sekaligus anak bagi bibinya. Ia menyayangi Khafa sebanyak ia menyayangi anaknya dulu.

"Bibi, aku izin pergi sebentar." Khafa mendekati sang bibi yang masih sibuk dengan gilingan gandumnya.

"Sepagi ini?" Tanya sang bibi, berharap Khafa masih memiliki waktu untuk menunggu menu makan pagi selesai dihidangkan. "Bibi sedang membuat Sangak*7 untuk kita makan bersama." Sang bibi mengelap peluh di keningnya dengan punggung tangan, dan menatap sedih kepada keponakkannya itu.

"Bibi, Khafa hanya akan pergi sebentar saja. Khafa berjanji sudah akan kembali kerumah saat makanan telah siap." Khafa menggenggam tangan sang bibi berusaha menghiburnya dan memasang ekspresi memelas yang lebih dari sang bibi. Netra Hazelnya berkilau karena tertimpa cahaya matahari yang menembus dari celah-celah atap rumah.

"Baiklah, bibi akan mengizinkanmu." Sang bibi akhirny mengalah karena tidak tega menghadapi rengekkan keponakkanya itu. Iapun berpesan agar Khafa harus kembali paling lambat sebelum makan pagi selesai yang dibalas dengan anggukkan dan kecupan dikening dari keponakkannya tersebut.

Tidak ada tempat lain yang Khafa kunjungi diwaktu luangnya, sebanyak ia mengunjungi ruang kerja sang ibu. Ruang kerja itu, sebenarnya hanyalah bangunan sederhana layaknya rumah-rumah dipersia saat itu. Dibuat dari batu bata dan dilapisi lumpur untuk dindingnya. Dalam ruang kerja tersebut, terdapat beberapa bagian yang memiliki fungsi tersendiri. Satu bagian, berfungsi sebagai ruang uji coba sang ibu. Satu bagian berisi ruang baca yang dipenuhi dengan gulungan-gulungan papyrus dan beberapa perkament tua. Bagian lainnya, berfungsi sebagai ruang penyimpanan bahan dan barang antik sang ibu.

Ibu Khafa adalah wanita yang sangat cerdas. Neneknya, selalu membacakan kisah-kisah wanita tangguh padanya, mengajarkan membaca dan menulis bahkan sebelum umurnya genap enam tahun. Saat usia 15th, ibu telah mengunjungi tempat-tempat bersejarah bersama paman neneknya. Hingga pada usia 20 tahun, ia bertemu dengan seseorang yang paling ia kagumi dan memberikan perubahan yang besar dalam hidupnya.

"Namanya, Abu Musa Jabir bin Hayan8. Orang-orang memanggilnya Jabir-" Khafa mulai mengenang obrolan bersama ibunya, saat ia membuka sebuah papyrus pertama yang ia temukan diruang baca.

"Beliau orang yang sangat cerdas, tenang, dan penuh perhitungan. Beliau sosok guru yang sangat tegas dan disegani oleh muridnya, termasuk ibu." Ibu menatap wajah Khafa kecil yang menyimak sang ibu dengan antusias.

"Ibu bertemu dengan beliau di Kufah, Usianya saat itu, mungkin baru empat puluh tahun. Namun, temuan dan teori-teori beliau dibidang Alkimiya benar-benar mengagumkan. Beliau telah memberikan banyak pelajaran berharaga kepada kami, murid-murid pilihannya." Ibu Khafa kembali tersenyum dan mengusap kepala Khafa diakhir ceritanya.

"Al-Kimiya itu, apa bu? Pilihan, ibu benar-benar terpilih menjadi muridnya? Mengapa ia harus memilih-milih muridnya?" ucap Khafa kecil dengan serangkaian pertanyan. Saat itu, sebenarnya ia tidak terlalu memahami siapa orang yang sedang ibunya ceritakan. Ia hanya tidak ingin ibunya berhenti bercerita, dan kembali bekerja serta mendiamkan Khafa kecil diruang baca sendirian seperti sebelumnya.

"Ibu akan menceritakannya, lain waktu saat usiamu sudah sedikit lebih besar." Jawab ibu kala itu yang membuat Khafa cemberut.

Khafa mengakhiri kenangan masalalunya ketika cerita dalam papyrus ditangannya telah habis ia baca. Netar Hazelnya kembali berkaca-kaca mengingat setiap memori tentang sang ibu. Kenangan sepuluh tahun bersama sang ibu, rasanya terlalu singkat untuk membuat ia bertahan disisa hidupnya.

Khafa terdiam cukup lama, otaknya terasa sekosong jiwanya. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membersihkan nama baik sang ibu, dari tuduhan bunuh diri. Itulah yang berulang kali ia fikirkan dan selalu menyakitinya teramat dalam.

"Andaikan saja aku memiliki sebuah petunjuk. Niscaya, aku akan mengejarnya walau harus keujung dunia." Khafa lagi-lagi menggerutu, tangannya ia kepalkan dengan amat geram.

Baru saja ia hendak meninggalkan ruangan itu untuk menunaikan janji kepada bibinya, matanya tiba-tiba terpaku pada sesuatu yang terselip diantara celah lemari. Dengan susah payah Khafa mengambilnya. Ternyata itu adalah sebuah gulungan papyrus yang baru pertama kali ia lihat. Dari tanggal yang tertuliskan dibagian kiri Papyrus, Khafa menyadari bahwa itu adalah surat untuk dirinya. Surat dari sang ibu yang ditulis tepat pada hari kematiannya.

5 Hydragyrum (Hg) atau merkuri, telah digunakan sejak 1500 SM. Merkuri diketahui juga sebagai zat beracun yang dapat melumpuhkan saraf jika terakumulasi dalam jumlah besar.

6 Belerang atau sulfur ditemukan pada abad ke 6 SM.

7 Sangak adalah Roti pipih khas Iran yang dipanggang diatas batu. Terbuat dari tepung gandum utuh.

8 Nama lengkap Abu Musa Jabir bin Hayan bin Abdullah Al-Azdi, biasa dipanggil Al-Azdi atau Jabir pada masa-masa selanjutnya.

_Mungkin ini bayangan Khafa dalam otak writter_

Setelah Baca, jangan lupa vote dan koment ya. Masih pemula, jadi butuh banyak saran dan masukkan. Terimakasih

 Terimakasih

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
HudanWhere stories live. Discover now