Prolog

219 10 9
                                    

Subuh itu, seorang bocah laki-laki terbangun dengan perasaan asing yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sebuah perasaan gelap seakan-akan mencengkram hatinya hingga ia menjadi begitu ketakutan. Biasanya ia tidak pernah seperti ini, Ia sudah terbiasa tidur dan terbangun dengan kondisi ruang yang gelap dan dingin. Bocah itu berfikir sejenak, matanya mengerjap-ngerjap mencoba menyadarkan diri sepenuhnya. Beberapa kali ia merubah posisi menghadap, kanan, kiri lalu kembali berbaring menghadap langit. Ia sudah benar-benar terjaga saat ini.

Bocah lelaki berumur 10 tahun itu, kini mencoba meraba-raba alas tidurnya yang terbuat dari anyaman daun kurma, mencari seseorang yang biasanya berbaring menemaninya jika ia terbangun dini hari.

Lagi-lagi perasaan gelap itu menyerang dadanya mengetahui orang yang ia cari tidak berada pada tempat yang semestinya. Sebuah perasaan gelisah mulai menjalar diperutnya, melilit dan terasa berdenyut-denyut hingga ia ingin sekali memuntahkan semua makan malam terakhirnya itu.

Firasat buruk, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah perasaan yang terus bermain-main didada, perut dan menular hingga kekepala dengan amat cepat.

"Ibu,..." Panggil bocah itu dengan suara parau. Ia terdiam sejenak, memberi jeda untuk setiap panggilan. Berharap seseorang membalasnya, namun ruangan itu masih tetap sunyi senyap.

Khafa nama dari bocah lelaki itu, akhirnya memutuskan untuk bangun dari tidurnya. Ia menurunkan kain wol berbahan bulu domba yang menyelimutinya dari hawa musim dingin kota Persia*1. Ia melangkahkan kakinya dengan hati-hati menghampiri lilin yang sedari tadi berpijar dipojok kamarnya.

Lilin itu terbuat dari lemak domba yang dikeringkan. Dengan bau tengik dan nyala redup, lilin itu hanya mampu menerangi ruangan dengan jarak selemparan batu. Lilin seukuran telunjuk itu ia bawa untuk menerangi sekitar permadani tempat ia tertidur tadi. Ia ingin menegaskan apakah ada orang yang sedang berbaring diruangan itu bersamanya, atau ia memang sendirian disana.

Khafa kembali berfikir ketika menyadari seseorang yang ia panggil ibu itu benar-benar tidak ada. Ia lantas mengambil tambahan beberapa kain linen untuk membalut tubuhnya yang kedinginan.

Khafa memutuskan untuk mengelilingi rumahnya berbekal lilin sebesar jari telunjuk. Suhu musim dingin di Rey*2 bisa menyampai 7oC disiang hari, dan minus 2oC di malam hari seperti saat ini. Sebenarnya bukan pilihan yang bijak untuk dia berkeliling dan mencari sang ibu, namun perasaan gelisah itu sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

Setelah berkeliling, Khafa masih tidak menemukan ibunya dimanapun dibagian rumah itu.

Otaknya lantas memikirkan banyak kemungkinan, termasuk ruang kerja sang ibu yang berjarak sekitar 500 yard*3 dari rumah.

"Mengapa ruang kerja ibu, harus berada jauh dari rumah?" Tanya Khafa beberapa tahun lalu kepada ibunya.

Dalam fikirannya yang masih sangat lugu, apa yang ibunya lakukan adalah hal yang aneh. Jika sang ibu sangat gemar untuk menghabiskan waktu diruang kerjanya, mengapa ia harus membuat ruangan itu berjarak cukup jauh dari rumah. Mengapa tidak dihalaman belakang, atau sekalian berjajar dengan ruang tidurnya.

Ibu Khafa, memang sangat gemar berada diruang kerjanya. Menghabiskan waktunya berjam-jam dari pagi hingga malam, untuk membaca atau melakukan pencampuran-pencampuran suatu cairan dengan cairan lainnya dalam suatu bejana. Memanaskannya, mendinginkan dan mengguncang-guncangkannya dengan sekuat tenaga.

Khafa sendiri sangat menggemari berada diruangan tersebut, biasanya ia akan terkagum-kagum saat melihat koleksi bebatuan sang ibu, atau saat mendengarkan cerita sang ibu dari masalalunya, atau ketika ia melihat banyak barang-barang antik yang ibunya buat sebagai wadah-wadah uji cobanya.

Khafa juga sering menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca cerita yang dituliskan ibunya pada kertas-kertas papyrus*4 diantara perkament-perkament tua disalah-satu bagian ruangan tersebut. Meskipun demikian, sang ibu selalu memberikan batasan yang ketat terhadap waktu istirahatnya.

Kini, Khafa telah berada tepat didepan pintu ruang kerja sang ibu, ketika ia mencium sebuah aroma yang sangat mengganggu hidungnya. Aroma itu, jelas berasal dari celah-cerah pintu ruang kerja sang ibu. Aroma busuk yang sangat menyengat.

Wajah Khafa seketika menegang membayangkan hal-hal terburuk yang terjadi pada ibunya. Anehnya, saat itulah ia baru mengingat bahwa firasat buruk yang ia rasakan sedari tadi bukan hal pertama baginya. Perasan itu pernah ia rasakan juga sebelumnya, tepat saat kematian sang ayah empat tahun lalu.

Tangan Khafa bergetar, menggigil- entah karena rasa dingin yang mencekam atau karena rasa takutnya yang semakin nyata.

Ia lantas mencoba membuka ruangan kerja sang ibu yang  tidak terkunci. Saat pintu terbuka seluruh bauk busuk serta merta terasa menubruk dirinya.

"UHUK... UHUK...." Ia terus terbatuk-batuk dengan hebat hingga harus bergeser menjauh dari lubang pintu. Aroma busuk itu benar-benar menyakiti hidungnya hingga kedada. Ia bahkan nyaris pingsan jika saja tadi tidak berpindah menjauh.

Bermenit-menit Khafa menunggu, agar bau busuk dari ruang kerja sang ibu mengalir keluar dan bercampur dengan udara malam yang dingin. Bermenit-menit yang terasa sangat lambat dalam hidup. Ia menunggu sambil membungkuk diseberang ruang kerja sang ibu. Sesekali Ia mengusap dadanya yang masih terasa sesak.

"Tutup hidungmu dengan siku, jika kamu mencium bau yang sangat menyengat dari ruangan ini. Buka semua jendela, pintu dan seluruh lubang yang tertutup. Jangan berusaha masuk ataupun tetap berada pada ruangan ini, jika tercium bau-bauan yang tidak kamu kenali dari ruangan ini." Khafa tiba-tiba saja teringat dengan nasihat sang ibu beberapa hari lalu saat ia tanpa sengan menumpahkan cairan bening yang menyebabkan satu ruangan itu menjadi berbau pesing.

barulah, setelah ia merasa bau busuk disekelilingnya mulai berkurang, Khafa mencoba memasuki ruangan kerja sang ibu dengan mengikuti instruksi untuk menutup hidungnya menggunakan siku. Ruangan itu tampak gelap, namun ia masih engan menyalakan lilin yang dari tadi tengah ia bawa. Ia mengingat betul nasihat ibunya, yang mengatakan betapa bahayanya untuk menyalakan lilin atau benda-benda berapi diruangan yang baru saja 'tercemari' oleh bau-bauan.

Dalam kondisi yang masih remang-remang, Khafa meraba-raba setiap jengkal ruangan. Hingga kakinya tersandung, dan ia harus jatuh tersungkur.

Saat mencoba untuk berdiri tangan Khafa justru mendapati sesuatu yang terasa tidak asing. Ia pun terperangah saat melihat seseorang yang tergeletak telungkup ditengah ruangan. Air matanya tiba-tiba jatuh tanpa bisa ia tahan. Khafa terhuyung mundur kebelakang, dan kembali tersungkur. Tangisnya pecah saat sinar matahari yang perlahan naik menyinari ruang kerja sang ibu dan menampakkan siapa wanita yang tengah tergeletak diruangan itu sesungguhnya.




1. Persia saat ini lebih dikenal dengan Iran

2. Salah satu kota di Iran terletak disebelah selatan kota Taheren

3. Satu yard setara dengan 0,9 meter, satuan Ini digunakan secara umum pada waktu lampau.

4. Kertas jaman dulu yang dibuat dari tanaman air Cyperus papyrus

HudanNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ