SUARA HATI KAK RIGEL

395 90 1
                                    

Kak Rigel meletakkan secangkir teh hangat yang ia buat di dapur toko. Aku teduduk di meja ruang tengah, tatapan mataku kosong menerawang jauh hingga ke pojok ruangan. Air mataku mengering, tak mampu lagi untuk mengalir padahal hatiku masih terasa sakit. Aku masih berhutang cerita pada kak Rigel, namun ia terlihat sabar menunggu, tidak mengeluarkan bahkan sepatah katapun. Ia menyentuh jemariku perlahan, membuatku menatap ke arahnya.

"Minum dulu, Karina," ujarnya. Aku menyentuh cangkir teh dan menyeruputnya sedikit, sekedar membasahi bibir.

Suasana kembali hening.

"Rama... akan menikah," aku membuka suara. Pupil mata kak Rigel membesar, ia terlihat kaget, "Calonnya justru wanita yang pernah kujumpai di London ketika acara dan aku... Aku terlihat begitu bodoh karena tidak menyadari semua itu sedari awal. Aku..." suaraku tercekat.

Kak Rigel kembali menyentuh tanganku.

"Kalau kamu tidak mampu bercerita, tak apa, Karina."

Aku menunduk, merasa baru saja terbangun dari mimpi dengan cara yang mengerikan. Rama tidak berbohong mengenai pernikahannya, ia hanya tidak mengatakannya padaku sejak awal. Akulah yang membunuh diriku sendiri karena kembali berharap padanya. Aku mengulangi kesalahan yang pernah kulakukan dulu. Namun mengapa ia mengatakan kalau ia masih mencintaiku malam itu? Pikiranku kembali mengingat semua tingkah yang ia lakukan padaku, apa ia akan melakukan hal yang sama bila itu bukan aku?

Kak Rigel melirik jam di pergelangan tangannya, "Ayo, kuantar pulang," ujarnya sembari berdiri. Ia menugguku untuk bangkit dan membereskan gelas teh di atas meja.

***

Sudah satu minggu aku tidak keluar apartemen. Wajahku kusut, sama halnya dengan hatiku. Rasa sakit ini tak kunjung membaik. Rutinitasku saat ini hanyalah bangun tidur lalu menatap langit-langit kamar, duduk di sofa balkon sampai siang menatapi langit kota Jakarta yang kelabu tertutup polusi, kemudian lanjut tidur hingga petang, dan terjaga saat dini hari menanti mentari hadir sebelum kembali tertidur. Begitu seterusnya. Hanya Sita dan kak Rigel yang bergantian mendatangiku sembari membawakan makanan atau apa saja yang dapat membuatku merasa lebih baik. Kerjaan di toko kuserahkan sepenuhnya di bawah tanggung jawab Nadia, karyawan yang paling kupercaya.

Selama satu minggu ini pula, Rama terus menghubungiku, ia berusaha menemuiku dan menjelaskan segalanya. Aku hanya dapat mematikan ponselku hingga tidak perlu terus-terusan melihat notifikasi dari laki-laki itu. Cukup lama aku hanya terduduk di sofa balkon, menatap pemandangan kota yang berwarna kemerahan ditimpa cahaya senja, bel pintu apartemenku berbunyi. Aku bangkit dan membuka pintu, menemukan kak Rigel berdiri di depan pintu, ia tersenyum kaku menatapku yang kusut.

"Halo, Karina," sapanya pelan.

"Ya, kak," balasku berusaha tersenyum.

"Kamu sudah makan malam?"

"Belum, kak."

"Mau temani aku cari makan?"

Aku berfikir cukup lama, sepertinya aku butuh menghirup udara, "Boleh, kak."

"Baiklah, aku tunggu di depan pintu apartemenmu ya."

"Tak apa, masuk saja kak, aku tidak akan lama."

"Ah, sebentar, aku membawakanmu sesuatu. Aku harap kamu suka," ujarnya sembari memberikan sebuah kotak merah muda berukuran sedang.

"Ini apa?"

"Pakai sekarang, ya," ucapan kak Rigel membuatku bingung. Aku hanya menurut dan membawa kotak tersebut menuju kamar.

Tidak butuh waktu lama bagiku untuk mandi dan berganti pakaian. Kubuka kotak merah muda yang tergeletak di atas tempat tidur. Sebuah midi black halter dress dengan bahan satin. Aku mengernyitkan dahi bingung, sepertinya kak Rigel akan mengajakku ke sebuah tempat makan yang tidak biasa. Aku memutuskan untuk menggerai rambut yang biasanya aku kuncir satu. Kuurungkan niat untuk tidak memakai riasan apapun malam ini. Sedikit make up akan membuatku lebih terlihat hidup, setelah satu minggu seperti manusia yang hidup segan mati tak mau.

Renjana Semesta [✔️]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum