SATU TITIK

490 105 3
                                    

Ini adalah hari pertama acara London Fashion Week yang berlangsung di Saatchi Art Gallery, Chealsea. Aku mengenakan dress A-Line simpel selutut berbahan fleece warna hitam, kupadukan dengan coat beige. Short boots hitam dengan bahan terbaik menjadi pilihanku untuk menutupi kaki. Suhu di luar sana cukup dingin dan aku tidak mampu menahan diri tanpa pakaian tebal. Aku melingkarkan syal panjang berwarna coklat di leher dan mengambil slingbag hitam sebelum keluar dari kamar hotel.

Lokasi acara tidak jauh dari hotel tempat aku menginap, hanya sekitar tiga ratus meter saja, setelah aku mengecek di maps ponselku. Aku memutuskan untuk berjalan kaki sembari menikmati jalanan sore hari ini. Acara akan dimulai pukul 7 malam, namun aku memilih untuk keluar lebih cepat, sekedar ingin melihat-lihat dan mencari restoran yang enak di dekat lokasi. Jalanan kota ini terlihat tenang, hanya terdengar desir angin meniup dedaunan kuning kemerahan menutupi tanah sekitar. Aku benar-benar menikmati suasana ini. Tinggal di London akan sangat menyenangkan, pikirku.

Setelah menghabiskan waktu selama beberapa saat di toko buku, aku duduk di sebuah café di pinggir jalan, hanya beberapa puluh meter dari Saatchi Art Gallery. Keramaian sudah mulai terisi di pintu masuk bangunan tersebut, namun acara akan dimulai sekitar satu jam lagi. Aku memutuskan untuk minum teh dan mencicipi kue terlebih dahulu, kebiasaan yang sering kulakukan setiap sore. Biasanya saat ini aku pasti duduk di kafe kak Rigel dengan segelas peach tea dan sebuah buku bacaan di tangan. Aku menyeruput pelan teh hangat di cangkir sembari menatap sekitar. Matahari mulai rendah di sebelah barat, aku hendak bangkit sebelum ponsel genggamku berdering; sebuah panggilan masuk.

"Sore, kak Rigel," sapaku duluan setelah mengangkat panggilan dari kak Rigel.

"Sudah lewat tengah malam disini, Karina," balasnya disertai tawa, membuatku sadar kalau perbedaan waktu antara Jakarta dan Chealsea cukup jauh.

"Oh iya, maaf kak, aku lupa," balasku meringis.

"Bagaimana suasana di sana? Enak?" tanya kak Rigel santai.

"Dingin sekali kak, aku beruntung tidak datang kesini bulan Desember. Kudengar suhunya bisa mencapai lima derajat?"

"Bisa lebih rendah dari itu, Karina,"

"Duh, aku pikir-pikir ulang kalau ingin tinggal di Inggris atau negara empat musim lainnya, hehe."

"Di Jakarta sering mengeluh panas, giliran ke tempat yang dingin malah tidak sanggup, hahaha," tawa kak Rigel semakin besar.

"Pukul berapa di sana, kak?" Aku bangkit dan berjalan pelan menuju Saatchi Art Gallery sembari menempelkan earphone di telinga.

"Pukul 1.30 dini hari."

"Kenapa kak Rigel belum tidur?"

"Karena aku tidak bisa tidur."

"Apa ada sesuatu yang kakak pikirkan?"

"Ya, aku sedang memikirkan apakah kamu baik-baik saja disana seorang diri. Ini kan pertama kalinya kamu ke London," suara kak Rigel terdengar pelan. Aku tersenyum tipis.

"Aku baik-baik saja, kak. Ini memang pertama kalinya aku ke London, tapi ini bukan pertama kalinya aku ke luar negeri seorang diri. Tenang saja, aku bisa jaga diri, terima kasih sudah mengkhawatirkanku."

Terdengar helaan nafas di seberang telefon. Aku memastikan padanya  bahwa aku benar-benar baik-baik saja meskipun sendirian di tempat asing.

"Jam berapa mulai acaranya?" tanya kak Rigel mengubah pembicaraan.

"Dua puluh menit lagi kak, aku sudah sampai di gedungnya," ujarku menatap bangunan besar yang didominasi warna krem dan putih dengan empat pilar besar tepat di bagian depan.

Renjana Semesta [✔️]Where stories live. Discover now