OBROLAN PERTAMA

846 123 0
                                    

Bandung, 2010

Bel istirahat berdering. Lyra dan Sita hendak mengajakku pergi untuk makan bakso mamang di kantin sekolah kami seperti biasanya, namun aku memutuskan untuk tidak ikut karena sedang malas keluar kelas. Aku mengeluarkan buku sketsa yang biasa kugunakan untuk menggambar dan menumpahkan ide-ide desain pakaian yang selama ini telah menjadi hobi. Aku termenung sejenak, memikirkan bagaimana model yang pas dan bagus untuk desain kali ini. Pensilku sudah mulai bergerak-gerak, merealisasikan imajinasi yang bersarang di kepalaku, sebelum seseorang duduk di kursi tepat di depan mejaku dengan posisi tubuh yang mengarah kepadaku. Aku mengangkat kepalaku melihat sosok itu. Rama melihat ke arahku sambil tersenyum. Aku membalas senyum dengan kaku.

"Kamu suka gambar? Boleh aku lihat gambar-gambar lainnya?" ia memulai percakapan dengan senyuman ramah, sembari menatap desainku yang baru setengah jadi. Hening sejenak, sebelum aku sadar dan memberikan buku sketsaku. Ia membuka halaman demi halaman dari pertama dengan raut wajah yang cukup serius.

Aku merasa sedikit gugup, karena ini pertama kalinya Rama mengajakku ngobrol setelah dua hari kepindahannya di sekolah ini. Aku menatap Rama secara seksama. Rambutnya benar-benar coklat kemerahan, dengan kulit putih pucat, semakin menonjolkan fisiknya di tengah-tengah siswa di sekolah ini yang sangat "Indonesia". Apa warna rambutnya asli? Selama ini aku belum pernah melihat warna rambut selain hitam secara nyata dan dekat seperti ini, selain wisatawan asing yang pernah terlihat di pinggiran jalan atau orang-orang Indonesia yang mewarnai rambutnya menjadi terang seperti kuning atau merah menggunakan pewarna rambut. Pada wajahnya terdapat sedikit bintik-bintik berwarna coklat muda yang samar-samar di sekitar hidungnya. Aku pernah lihat bintik-bintik ini pada aktor dan aktris luar negri di film-film barat yang kutonton. Hidungnya sangat mancung dan kecil, dengan bibir yang berukuran sedang dan berwarna merah muda alami. Aku merasa bibir semua teman perempuan yang ada di kelasku kalah dari bibirnya karena kami pun harus memoles sedikit pewarna bila ingin terlihat seperti warna bibirnya.

Sepertinya lagi-lagi aku melamun karena ketika aku sadar, aku melihat ia menatapku sambil melambaikan tangannya di depan wajahku. Aku menggigit bibir panik.

"Kamu kenapa melamun? Aku daritadi tanya kamu, lho," ujarnya memecah keheningan.

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapannya. Tak tahu mengapa, rasanya begitu sulit memproses kata-kata yang keluar dari mulutnya ke dalam kepalaku.

"Iya? Tanya apa?"

"Ya aku tanya kamu suka fashion design? Gambarmu bagus sekali. Kamu belajar darimana?" tanya Rama— mungkin mengulang pertanyaan yang tak sempat kudengar akibat lamunan tadi.

"O-oh, iya aku suka fashion design. Aku belajar sendiri, biasanya lihat referensi dari internet," jawabku pelan. Matanya terlihat antusias.

"Keren sekali! Aku suka lihat orang-orang melukis, atau menggambar, atau melakukan aktivitas seni lainnya, walaupun aku sendiri tidak berbakat," ujarnya penuh semangat. Aku tersenyum mendengar ucapannya. Ia lebih periang dari yang kuduga. Awalnya aku mengira Rama ada sosok laki-laki yang pendiam dan tenang, namun kurasa aku terlalu cepat menilai.

"Bagiku, tidak ada yang namanya bakat. Aku sih percaya yang ada adalah orang-orang yang memiliki kemampuan untuk belajar sesuatu hal lebih cepat dari orang lain. Masih banyak orang-orang yang lebih pintar menggambar dariku, itu karena mereka lebih tekun latihan atau lebih cepat menangkap metode menggambar daripada aku. Practice makes perfect, begitu maksudku," celotehku panjang lebar.

"Nice to hear that. Aku baru tahu ada orang yang berpikiran seperti itu. Oh iya, aku belum tahu namamu, jadi mari kita berkenalan. Aku Rama," ia mengulurkan tangannya sambil menatapku. Aku terdiam sejenak, sebelum membalas uluran tangannya.

Renjana Semesta [✔️]Where stories live. Discover now