Ada kepanikan yang susah aku tahan saat tatapan kami bertemu. Pandangan Maël yang biasa penuh dengan kejenakaan terlihat lebih serius. Keputusan membuka hati di hadapannya mulai merayapkan sesal. Namun lantas dia tersenyum seolah ingin meredakan kecemasanku yang kemungkinan tampak jelas. 

"Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa karena ini sungguh berbeda. First you're a guy, and second, you possess this quality I've never found in any woman. You're compassionate, clever, smart, honest, and you know who you are as a person. Most people are still searching about who they are. And third, I didn't even know you're into men until few weeks ago. Not that it changed anything. On the contrary, it put me in a hell of a rollercoaster of emotions. Sikap antipatiku pada awalnya murni karena aku selalu tertarik pada wanita. Meski penasaran dengan pria, itu bukan sesuatu yang memenuhi pikiranku dan bukan sesuatu yang aku kejar demi menuntaskan rasa ingin tahu. Kemudian aku kenal kamu. Setiap kali kita ketemu, ketertarikan itu menjadi semakin kuat. Dengan keras, aku berusaha mencari jawaban atas semua yang tidak biasa ini, tapi aku gagal menemukannya. Then, I reached a point when I realized I was being a complete idiot for worrying too much about my own identity, about what society thinks of me, about what my mother and sister will react. The fact that you're a guy slowly became insignificant and I let myself to think of you as a person, regardless the gender. I like you for all the qualities you have, and it made me feel at peace."

"Bagian mana yang ironis?"

Maël memiringkan badan, menampakkan bulu dada yang menyembul dari balik kemejanya. "Karena aku berusaha menolak sesuatu yang membuatku bahagia? Bagiku, itu ironis." 

Senyum yang Maël berikan begitu lebar hingga aku tidak kuasa menahan senyumku sendiri.

"Why are you smiling?" tanyanya.

"Siapa yang menyangka ketertarikan ini sifatnya mutual? I've been holding myself back for months and I just couldn't do it any longer. Aku nggak siap dengan konsekuensinya kalau jujur ke kamu, Maël."

"And what is that?"

"Aku nggak mau kehilangan kamu sebagai teman. Alasan yang klasik dan klise, tetapi aku lebih baik menahan diri daripada kamu menjauh. I enjoy your company so much that I'm not willing to risk it, even for my own feeling."

"Menurut kamu, aku sedangkal itu?"

"Orang bisa jadi dangkal untuk urusan sepele, Maël, apalagi ini menyangkut hati."

"I don't think it would bother me that much, even if I didn't feel the same way about you. Akan ada kecanggungan, tapi kita tetap bisa jadi teman. Aku tidak mau kehilangan teman diskusi yang menyenangkan seperti kamu, apa pun kondisinya."

"But I would probably be the one who distance myself. At least for a while."

Balasanku itu mendapat kerutan dahi dari Maël. "Why would you do that?"  Bukan hanya kaget, tapi intonasi Maël terdengar sedikit defensif.

"I like you, Maël. Jika kita tetep ketemu sementara kamu nggak ada perasaan apa-apa ke aku, sama saja dengan aku menyiksa diri. Aku akan butuh waktu."

"I'm glad we will not get there."

Aku mengangguk setuju.

"So, what will happen now?"

"Maksudnya?"

"Kita sudah sama-sama tahu perasaan masing-masing. Wouldn't we do something about it?"

"Memangnya apa yang harus kita lakukan? We can't just jump into a relationship, can we?"

"Kamu benar. Tapi mungkin kita bisa lebih banyak menghabiskan waktu berdua saja? Tanpa teman-teman yang lain?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 30, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

THE SHADES OF RAINBOWWhere stories live. Discover now