PAVO'S SANCTUARY

2.1K 168 30
                                    


"Welcome to my sanctuary!"

Aku bisa mendengar nada puas dalam suara Pavo ketika menyambutku di rumah pohon yang disebutnya sebagai sanctuary itu. Napasku masih tersengal-sengal akibat tangga tali yang harus aku panjat untuk berada di sini. Dalam gelapnya malam, aku tanpa henti menanyakan diri sendiri alasan menyetujui permintaan Pavo saat dia mengajakku ke sini. Aku berusaha menjaga tubuhku tetap seimbang ketika dalam setiap gerakan, tangga tali ini seolah ingin mengempaskan tubuhku ke bawah.

"Apakah ini bagian dari rencana kamu, Pavo?" tanyaku dengan napas terengah ketika akhirnya aku meletakkan kedua lenganku di lantai kayu, tepat di pintu masuk. Sekeliling kami masih diliputi kegelapan.

"Come on in, what are you doing there?"

Memasuki rumah pohon itu perlu usaha lebih, hingga begitu aku berhasil melewati pintu masuk, yang pertama aku lakukan adalah merebahkan tubuh tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan dari Pavo.

"Kenapa harus sekarang, Pavo? Can't we wait until tomorrow?" protesku di antara usaha mengatur napas.

"Tomorrow will be different," jawabnya.

Dalam waktu singkat, aku melihat wajah Pavo diterangi cahaya dari ponselnya. Dia sedang mengeluarkan sesuatu dari laci kecil yang berada tidak jauh dari tempatnya bersimpuh.

Rumah pohon ini memang tidak besar, tapi sangat ... homey. Sekalipun minim cahaya, aku bisa membayangkan nyamannya tempat ini di malam-malam biasa. Aku melihat satu air bed berukuran single yang mengambil banyak tempat di rumah pohon ini. Ada satu rak kecil yang terdiri dari tiga laci berwarna biru langit, yang sangat kontras dengan warna kayu yang memenuhi rumah pohon ini. Dua lukisan kecil tergantung di sisi kanan dan kiriku. Dua lukisan abstrak yang dibingkai, serta dua buah lampu dinding kecil, yang pasti dihidupkan jika saja ini bukan Nyepi.

Aku memutuskan untuk mengunjungi Bali dua hari sebelum hari raya Nyepi. Hari di mana sebagian besar orang yang bermukim di Bali memilih untuk meninggalkan Bali daripada terkurung di dalam rumah/hotel tanpa bisa melakukan aktivitas di luar rumah, belum lagi terkurung dalam kegelapan.

Beruntung aku tidak harus menghabiskan Nyepi sendirian. Rick, sahabatku di Perth, tidak mau mendengar kata tidak dariku ketika dia menawarkan rumah keluarganya di Ubud untuk aku tinggali selama di Bali. Orang tua Rick yang sudah pensiun beserta adik semata wayangnya, Pavo, memang tinggal di Ubud. Kami sudah saling mengenal selama sepuluh tahun, sejak aku dan Rick jadi roommate ketika kami sama-sama kuliah di Sydney. Dan mereka sama sekali tidak keberatan jika aku mengisis salah satu kamar di rumah mereka.

"It's better," ucap Pavo ketika cahaya lilin menerangi ruang kecil ini.

Aku menatapnya bingung, berusaha untuk tidak menunjukkan bahwa aku juga takut dan khawatir. "Bagaimana nanti kalau ada Pecalang yang melihat ini, Pavo? Are you sure it's okay?"

Kali ini, aku bisa melihat senyum lebar Pavo. "Rumah pohon ini terlindung dari luar, Atlas. Paling tidak, terlindung dari jalan. Belakang rumah ini sungai, seberangnya penuh dengan pohon-pohon tinggi dan lebat, jadi kita tidak akan ketahuan kalaupun menyalakan lampu di sini. Come here, lazy man."

"Hey, I'm not lazy! I'm trying to catch my breath."

"How old are you?" tanya Pavo, kembali dengan seringai lebarnya untuk mengejekku.

Aku merangkak mendekati Pavo yang masih belum beranjak dari posisinya sejak dia masuk ke sini. Duduk di sebelahnya, kami saling berpandangan tanpa tahu harus mengatakan apa, diselingi beberapa senyum dari Pavo.

THE SHADES OF RAINBOWWhere stories live. Discover now