SATU MALAM DI KLOROFIL

1.1K 71 13
                                    


Gamma menarik napas dalam sementara pandangannya tidak lepas dari rintik di luar jendela. Saat dia memasuki Klorofil lebih dari sejam lalu, langit serasa menumpahkan seluruh isinya tanpa ampun. Sekarang, yang tersisa hanyalah gerimis. Memangku tangan, Gamma tidak mampu menahan gelengan herannya menyaksikan beberapa gelintir manusia nekat berlari kecil, menembus genangan air hingga memercik dan membasahi sepatu dan pakaian mereka. Apa susahnya membawa payung? tanyanya tanpa mampu bisa mendapatkan jawaban. Mereka akan tetap basah, batinnya. Setelah mendengus pelan, kedua mata Gamma beredar ke atas meja yang sudah menyangga kedua lengannya sejak memasuki Klorofil. Dipandanginya satu cangkir teh hijau, satu piring datar kecil berisi sisa remahan strawberry cheesecake dan blueberry muffin, satu gelas sedang berisi air putih yang isinya sudah tandas setengah, beberapa puluh origami burung bangau, serta tumpukan kertas lipat bermotif, berdesakan menempati permukaan mejanya.

Gamma meraih satu lagi kertas lipat yang masih utuh dan dengan segera, jemarinya mulai terampil membentuk lipatan demi lipatan hingga menjadi satu lagi origami berbentuk burung bangau. Sejak putus dari Raphael sebulan lalu, Gamma berusaha menjadikan Klorofil bagian dari usahanya menyembuhkan luka hati. Di sinilah dia menghabiskan sebagian malam-malamnya sepulang dari kantor. Dia memasuki kafe tidak lebih dari pukul 6 sore begitu jam kerja usai, duduk di meja paling pojok setelah memesan satu cangkir teh—meski jenisnya bervariasi setiap hari—dan dua potong cake yang pertama kali tertangkap penglihatannya, meletakkan tas setelah dirinya duduk, mengeluarkan kertas lipat, dan mulai membuat origami yang sama. Jika meja favoritnya sudah ditempati, Gamma akan mengurangi dua porsi kue yang dipesannya menjadi satu dan hanya membuat 5 buah burung bangau. Origami selalu menjadi guilty pleasure sekaligus pelarian setiap kali dirinya putus cinta. Gamma tidak pernah mampu memberikan jawaban tepat jika ada yang bertanya sejak kapan dia menumpahkan seluruh sakit hatinya dengan melipat kertas.  Dia tidak ingin susah payah menggali ingatan dan sejujurnya, tidak peduli dengan kebiasaannya itu. Jika suasana hatinya sedang baik, dia akan membawa origami yang sudah dibuatnya ke apartemen, tetapi tidak jarang, meski hatinya sedang tidak dijejali ingatan akan kisah cintanya yang berakhir, dia membuangnya ke tempat sampah, atau meninggalkannya begitu saja di atas meja. Semuanya tergantung suasana hati yang sedang menyelimutinya saat itu.

Ketika seorang pramusaji datang untuk menarik piring, cangkir kotor, serta menanyakan apakah ada yang ingin dipesannya lagi, Gamma mengangguk.

"Saya mau satu crème brûlée, Mbak."

Setelah pramusaji itu berlalu—membuat mejanya sedikit lebih lapang—Gamma iseng menghitung berapa origami yang suda dibuatnya malam ini. Limabelas. Sebuah tawa sinis keluar dari mulutnya, menyadari apa yang dilakukannya—menghitung origami—sebelum meraih lagi kertas lipat ke-16. Ketika baru melipat kertas menjadi dua bagian secara diagonal, sebuah suara membuat wajahnya menengadah.

"Saya tidak tahu apakah kamu ingin diganggu atau tidak, tapi sudah lima hari saya perhatikan, kamu selalu melakukan hal yang sama. Dan saya sangat khawatir dengan kadar gula yang masuk ke tubuh kamu melalui kue-kue yang kamu pesan. Kamu tidak ingin kena diabetes, kan? Atau jangan-jangan, kamu memang berniat mengakhiri hidup kamu pelan-pelan? What a waste!"

Rentetan kalimat dalam satu tarikan napas itu membuat Gamma menegakkan tubuh. Dipandanginya pria yang berdiri tidak jauh dari mejanya dengan kerutan di kening. Matanya menyelidik, berusaha mengingat wajah pria bertubuh tinggi dengan kamera yang dikalungkan di leher. Namun, ingatannya sedang mogok saat ini. Setelah gagal memanggil memori tentang pria bermabut setengah gondrong ini, Gamma menyerah.

"Apakah kita saling kenal?"

"Belum, tapi saya tidak keberatan memperkenalkan diri." Pria itu kemudian mengulurkan tangannya dibarengi dengan seulas senyum tipis. "Alta."

THE SHADES OF RAINBOWOù les histoires vivent. Découvrez maintenant