[11] Ingatan Buruk

Start from the beginning
                                    

Mereka saling memandang cukup lama. Perempuan itu sepertinya sedang menelpon, karena ponselnya diletakkan di telinga.

“Ah, lo tau, gak? Iya, bener banget! Psikiater itu cuma buat orang yang gak waras dan butuh pengobatan.”
Wanita itu berucap penuh penekanan, seolah ucapannya itu memang ditujukan untuk Keyra.

“Tetangga gue, iya yang gak waras itu. Perginya ke mana coba? Psikiater, lah! Jadi, ya emang bener kata gue, psikiater buat orang gila.”

Mata Keyra memanas, dia menghampiri perempuan yang menelpon itu. Oh, atau dia sedang pura-pura.

“M-maksud lo, gue gila?!” ucap Keyra setengah teriak.

Perempuan itu menaikkan alisnya sebelah, berpura-pura mematikan ponselnya. Dia mengambil langkah mundur, seperti orang yang jijik berdekatan dengan Keyra.

“Ups, lo tersinggung? Yah, mana gue tau kalau lo itu gak waras.”

Keyra mengepalkan tangannya, berdoa dalam hati agar tidak menangis. Ini bukan saatnya nangis.

“Ya, emang benar kok yang gue bilang. Jadi, lo ada niatan ke psikiater, ya?”

Apakah Keyra bodoh meladeninya. Apa dia akan benar jadi orang tidak waras berbicara dengan perempuan ini?

“Diam! Gue gak gila!”

Mata Keyra sudah menunjukkan kilat amarah, tangannya masih setia terkepal kuat.

“Mana ada orang gila yang ngaku.”

Keyra ingin sekali menjambaki rambut orang ini. Tidak ada angin tidak ada hujan, dia malah menghina Keyra.

“Gue gak ke psikiater, karna gue gak gila!”

Perempuan itu menyilangkan tangannya di depan dada. “Berarti, kalau suatu saat gue ketemu sama lo lagi mau ke psikiater. Di situ lo harus mengaku kalau lo memang gila. Hahaha.”

Perempuan itu pergi dari sana menyisakan Keyra yang sedari tadi mengucapkan kalimat yang menyatakan bahwa ia tidak gila, dia tidak mau di cap gila karena pergi ke psikiater.

Keyra berdoa agar Tuhan memberikan dia hukuman karena telah menghinanya. Padahal mereka sama-sama ciptaan yang di atas, lalu mengapa sikapnya begitu buruk.

Keyra yang bercerita matanya mulai berkaca-kaca. Hal ini tidak diketahui oleh mamanya, atau siapa pun kecuali dirinya dan sekarang Sania.

“Siapa orangnya, bilang? Jangan di sembunyiin gini.” Sania mengusap lembut punggung tangan Keyra.

Keyra tersenyum dan menggeleng. Rahasia, katanya. Walaupun orang membencinya, tidak suka padanya. Ia tidak bisa marah terlalu lama, namun ingatan akan hari itu tidak akan lupa. Apa saja yang diucapkan perempuan itu, masih terekam jelas di ingatannya.

“Jadi, lo beneran gak bakal mau ke psikiater?” Sania bertanya lagi untuk kesekian kalinya.

I don’t know. Tolong yakinkan gue lagi dong, bantu gue hilangin pemikiran yang melekat di kepala gue kalau psikiater itu cuma buat orang gak waras aja.”

Sania mengangguk mantap, dia akan berusaha. Apapun untuk temannya ini.

“Ini,” Sania mengangkat selebaran kertas ajakan Food Festival itu. “Gimana?”

“Gue tau ini bakalan rame banget, tapi gak mau coba dulu. Gue gak akan bawa ke tempat ramai. Kita bakal ambil tempat jauh dari kata ramai, cari stand makanan yang sepi.” Sania belum menyerah untuk mengajaknya. “Atau, gue bakal benar-benar cari stand makanan yang gak ada pembeli atau pekerja cowok.”

Sebesar ini keinginan Sania agar Keyra ikut. Keyra ragu. Ia hanya takut menyusahkan, belum apa-apa saja rasanya ia sudah membebani Sania.

Keyra perlu sedikit waktu untuk berpikir. Festival ini masih akan berlangsung dua minggu lagi. Mungkin saat itu juga Rika sudah pulang dan dia boleh bertanya secara langsung bagaimana pendapatnya.

“Gue pikir dulu ya, San. Eum, sekalian tunggu mama pulang, biar enak ngomongnya.”

Sania mengangguk antusias, setidaknya ada sedikit kepercayaan bahwa keinginannya akan terkabul. Sedikit. Itu membuat Sania lega. Semoga tidak ada rahasia lainnya yang tidak ia ketahui. Semoga ini rahasia terakhir selain identitas perempuan itu.

“Iya, Keyra. Ajakan gue jangan dijadiin beban pikiran ya. Enjoy, aja. Kalau emang belum siap pergi ke luar. Gak apa, jangan dipaksa. Oke.”

Sania mengedipkan sebelah matanya. Sania memberikan selebaran itu untuk Keyra simpan. Siapa tau dengan melihat poster itu, sedikit memberi keyakinan pada Keyra bahwa dia bisa melawan ketakutannya.

“Eh, wait. Kayaknya pesanan gue udah sampai,” ucap Sania lalu beranjak pergi keluar menemui orang yang bekerja sebagai jasa beli makanan online.

Lihat apa yang ditenteng Sania. Dua buah bubble tea segar dan dingin. Entah kapan ini dipesannya. Sania itu penuh kejutan.

“Minum, biar adem lagi hatinya. Gak usah diingat kata-kata orang bego itu.”
Sania menyodorkan bubble tea-nya, bahkan jujur Sania pun masih kepikiran dengan cerita Keyra tadi. Semoga waktu dapat memperbaiki segalanya.

.

.

.

.

.

So, gimana guys? Keyra jadi pergi gak nih? Hehe.
Coba deh kalian bayangin kalau kalian itu jadi si Keyra, apa yang kalian lakukan?

Pergi, walau gak tau apa yang bakal terjadi di sana, akan bertemu siapa saja di sana, atau selama di sana pasti bakal dihantui ketakutan akan laki-laki yang buat gak nyaman.

Or ...

Tetap di rumah, padahal hati sudah teramat ingin menginjak dunia luar lagi, rindu akan suasananya, rindu suara berisik orang-orang yang saling berbicara, rindu ini juga bakal mengusik pikiranmu.

Huhuu, susah ya milihnya :(
Aku juga bingung :)

Baiklah dari pada banyak bacot nih aku, tungguin aja part selanjutnya!

SERENDIPITY [PROSES TERBIT]Where stories live. Discover now