[7] Masa Kecil

37 7 3
                                    

.

.

.

.

.

Keyra menatap dirinya di depan cermin, diam tidak berbicara. Ntah apa yang sedang dipikirkannya.

Setelah hampir lima menit dalam posisi seperti itu, akhirnya dia bergerak menuju tempat tidur empuknya.

“Apa yang harusnya gue lakukan,” lirihnya.

Dua jam lalu Keyra selesai membaca setengah dari isi buku yang di beli Rika waktu itu. Dia jadi terpikir sesuatu.

“Pergi atau tidak?” Keyra ragu.
Keyra memejamkan matanya, memikirkan segala hal yang mungkin akan terjadi bila dia memilih salah satu pilihan itu.

“Kayaknya gue harus minta pendapat seseorang.”

Keyra mengambil ponsel dari kantong celananya, mencari sebuah nama di kontak telepon.

Panggilan pertama tidak di angkat. Keyra mencoba lagi.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau di luar jangkauan….”

Keyra menghela nafasnya, mungkin Sania sedang sibuk bekerja. Keyra sadar dunia Sania bukan hanya tentang dia namun ada keluarga dan pekerjaan yang harus diurus.

Keyra menatap ke arah luar, melihat titik air mulai berjatuhan satu-satu membasahi tanah yang telah lama kering.

Dengan sigap Keyra berjalan menutup jendela kamarnya, takut bila angin semakin kencang atau hujan kian melebat, air akan masuk ke dalam.
Sebelum ia menutup jendela, Keyra menghirup dalam dalam udara di luar merasakan dahulu kesejukan angin. Bagai kekuatan baru baginya.

Keyra terkejut dan spontan langsung menutup jendela saat mendengar teriakan Rika dari depan pintu.

“Nak, ayo makan siang.”

Keyra dengan cepat membuka pintu. “Oke, bos.”

Nasi goreng hangat dengan telor mata sapi di atasnya sudah menunggu mereka di meja makan.

Usai mereka berdoa, dengan tidak sabaran Keyra menyantap hidangan itu.

“Key, Mama boleh ngobrol serius?”
Keyra mendongakkan kepalanya, memusatkan perhatian penuh kepada Rika.

“Ini soal cabang butik Mama yang di Medan.”
Keyra mengangguk, menunggu kelanjutan kalimat Rika.

“Eum … Mama diminta untuk hadir dipembukaan butiknya. Mama udah nolak tapi mereka tetap minta, karna bakal datang temen Mama yang juga jadi salah satu sponsor butik.”
Keyra masih coba mencerna apa yang diucapkan Rika.

“Jadi … Mama pergi ke sana? Gitu maksudnya?” tanya Keyra.

Rika mengangguk pelan, tidak berani menatap putrinya.

Dengan santai Keyra berkata, “Gak apa apa, Ma. Keyra aman kok di rumah.”
Keyra melupakan kejadian semalam, di mana ada seorang pria yang memanggilnya dari luar. Hal itu saja sudah hampir membuat jantung Keyra copot, dan kini dia bilang dia akan aman di rumah tanpa mamanya.

No, mana bisa Mama tinggalin kamu. Tapi, Mama juga gak bisa bawa kamu.”
Keyra tersenyum pada Rika, seolah berkata ‘everything will be fine, I'm safe here. Don't worry, mom.’

Rika mengusap wajahnya, apa dia akan sungguh meninggalkan Keyra. Walau ada seorang asisten rumah tangga, namun dia tetaplah seorang ibu yang akan khawatir pada anaknya terlebih Keyra putri satu satunya.

Keyra kembali menyuapkan nasinya ke mulut, wajahnya tetap santai berbeda dengan Rika. Sepertinya Keyra setuju, jadi apa boleh buat dia memang harus pergi ke sana.

SERENDIPITY [PROSES TERBIT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora