6

385 12 0
                                    

KAHFI ALI FADHILLAH'S POV

Buku tugas yang menumpuk sedikit demi sedikit berkurang, di hari Minggu memang jarang sekali ada anak yang mau mengerjakan tugasnya. Karena mereka pasti berpikir hari Minggu seharusnya menjadi hari berleha-leha. Tidak sepertiku yang terbayang-bayang impian dan janji kepada Papa terdahulu.

"Ali, makan siang dulu, Nak. Masakkan mama udah siap di meja!" Teriak Mama dari dapur.

"Iya, Ma! Sebentar lagi tugas Ali selesai."

"Inikan hari libur, santai sedikit dari hari biasanya tidak apa-apa, Papa pasti mengerti. Cepat turun, dan temani Mama makan di bawah!"

"Iya, Maaaa!" Ali bergegas turun ke ruang makan. Seperti biasa ia selalu aku temani makan bersama.

Papaku? Dia bekerja di Kementrian Luar Negri. Dan memang pekerjaannya sering keluar negri yaitu Jepang. Aku dan Mama pernah ditawari untuk ikut tinggal bersamanya di Jepang. Namun aku lebih nyaman bersekolah di negara sendiri daripada di negara orang lain. Banyak anak-anak Indonesia yang bermimpi bersekolah diluar Indonesia, bagus memang tapi entah aku sangat tidak tertarik.

"Kamu kapan mulai UAS-nya, Nak?" Kata Mama.

"Mungkin 2 minggu lagi, Ma. Aku mungkin akan lebih banyak lagi mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru untuk menambah nilaiku."

"Mama doakan yang terbaik, semoga nanti kamu bisa dapat perguruan tinggi negri yang terbaik. Tapi, kamu benar-benar tak mau mencoba beasiswa di Jepang?"

"Tidak, aku lebih suka tinggal di negara sendiri dibandingkan harus tinggal di negara orang. Lagipula kualitas perguruan tinggi di Indonesia tidak terlalu buruk yang seperti Papa kira."

"Tapi kamu harus tetap mengikuti perjanjian kamu dan Papa ya, Nak. Ingat dulu kamu bersungguh-sungguh ingin mendapatkan motor besarmu itu."

"Iya, Ma. Siap! Ya sudah aku mencuci piring dulu. Mama silahkan beristirahat. Aku sayang Mama!"

Bukannya menyombongkan diri sendiri tapi tak jarang kan ada laki-laki yang mau mencuci piring setelah selesai makan? Atau yang mau membersihkan satu rumah? Iya, aku hanya ingin menjadi anak laki-laki yang tidak merepotkan Mama. Tak terlalu sering, tapi alhamdulillah aku bisa melihat Mama tersenyum saat aku membantunya di rumah. Suatu kebanggaan tersendiri.

Kilatan motor besar berwarna merah yang dulu aku idam-idamkan saat masa SMP, sangat sulit mendapatkan motor impianku itu. Aku sangat mengingat bagaimana sikapku yang setiap hari memintanya kepada Papa.

Dan sekarang impian motor besar itu sudah menjadi nyata didepan mataku, dan karena motor itu mungkin yang akan menentukan masa depanku.

Ah terlalu banyak melamun, kapan mulai mencuci motornya? Batinku.

Mulai dari menyiramnya, kemudian menggosok sampai ke sela-sela yang paling kotor, membilas, dan di lap.

"Kakakkkkkkkk!!"

Aku menoleh ke arah gadis kecil berponi yang sedang berlari-lari kecil menghampiriku. "Iya ada apa?"

"Kakakkkkk, aku punya PR matematika. Tapi banyaaakkkk sekali." Anak kecil itu melebarkan tangannya, "kakak mau bantu aku, kan?"

Aku hanya tersenyum. Adik kecilku satu ini memang selalu membuatku bahagia setiap harinya. Lita namanya.

"Ih kakak mah kebiasaan, aku kan butuh bantuan kakak nih." Sambil mengerutkan bibirnya ia merengek kepadaku.

"Iya sebentar Lita yang mirip Barney. Kakak lagi sibuk, lihat? Nanti kakak ke kamar kamu, oke?" Aku mencubit pipinya yang bulat. Adik kecilku yang satu ini memang tak ada lagi yang bisa menandingi kelucuannya. Apalagi saat merengek seperti tadi.

Andai Dia TahuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang