Sudut Pandang Bumi

1.5K 339 78
                                    

Rona kerlap-kerlip dan sorak-sorai tiap manusia terdengar jelas pada nuansa malam alun alun sebelah selatan.

Biru memang tidak begitu lekat pada ramai. Terkecuali malam ini, biarkan saja dukanya bersembunyi.

"Selamat malam, Nona Biru. Sepiring roti bakar ini untuk Nona, dari Tuan di sebelah sana. Katanya, jangan terlalu banyak melamun."

Gadis itu sedikit terkejut namun akhirnya mengangguk untuk berterimakasih.

"Bumi?"

Pemuda di seberang jalan itu melukis lengkungan sabitnya, sembari tungkainya mengayun pasti mendekati Biru.

"Dari sekian ruang pada Yogyakarta, saya senang bersua dengan kamu kembali." Bumi menyilakan tungkai tepat di depan sang gadis.

Sebagai jawab, Biru hanya mampu tersenyum.

"Biru, malam ini saya ingin berbagi mengenai sudut pandang saya. Hendak mendengarnya?"

Biru mengangguk, ragu.

Kemudian sang adam memulainya dengan penuh rekah.

"Biru, saya tidak mengerti apa yang saya tuai pada periode lalu, hingga sebagai buah panennya, saya menemukan satu raga sesederhana kamu."

Ada sedikit jeda pada tuturnya yang menyisipkan senyum, sebelum Ia melanjutkan kembali.

"Saya paham perkara asa yang kendati menyelimuti. Tetapi yang saya pandang, ia bukanlah ganjil pada genap ragamu. Ia istimewa, yang semesta cipta dengan ribuan sorai sukacita."

Biru dan sepiring roti bakarnya masih setia mendengar. Hanya saja, manik kembarnya tak lagi menatap Bumi.

Jauh ke tanah, sang gadis memandang.

"Dan yang terakhir, si Bumi hendak mengaku. Bahwa padanya, ada benang benang afeksi yang tanpa sengaja terajut menjadi tenunan renjana."

Peristiwa selanjutnya, ada jemari milik Bumi yang bergerak menyisipkan surai hitam sang gadis.

"Biru, saya baru saja mengaku perihal gelora pada sukma saya. Tolong jangan menghindar setelah ini. Sebab ada ruang yang ingin saya bagi dengan kamu."

──────


bumi ✓Where stories live. Discover now