⁶🐤petir, dingin, dan gemetar.

Start from the beginning
                                    

Pemuda itu pun bercerita, ketika ia tambah bersemangat, Seijuro mulai bicara dengan bebas betapa menyenangkan saat-saat bersama temannya, sehingga sejenak lupa keadaan adiknya.

Seijuro terdiam, kala tau adiknya menyimak dengan seksama. Meski tau mentalnya sedang tidak stabil, sang adik tetap serius mendengarkan. Seijuro jadi merasa bersalah, karena asyik bernostalgia.

Shirona menyidik kakaknya, mencoba memandangnya seperti saat menjumpainya untuk pertama kali di umurnya yang ke-4 dulu.

Tidak sekedar memandang pupil kemerahan itu, ia juga memancarkan sinyal SOS secara tersirat dengan pandangan mata. Sedikit rasa kecewa membuncah, kata-kata Shirona tersumbat di kerongkongan, ia memilih untuk menunda tuturannya.

Beberapa menit terlewatkan semenjak Seijuro bercerita, dan Shirona masih saja gemetaran seraya merasa dadanya dipenuhi bom nuklir yang bisa meledak kapan saja.

Shirona tidak lagi memandang netra Seijuro, melainkan menunduk pusing dengan banyaknya memori traumatis yang mendadak menyeruak kembali di dalam kepalanya.

Udara dingin, sangat dingin. Kegelapan mulai lagi, menyimuti atmosfer dan kamar Shirona yang lampunya dimatikan. Cahaya matahari pagi itu tak masuk di selipan jendela, sebab hujan petir melanda Tokyo pagi itu.

Shirona menggigil, Seijuro yang melihatnya kebingungan, sebab adiknya sudah terbaluti selimut dan jaket miliknya.

Air mata yang menggenang di sudut mata belum terjatuh, bersamaan dengan petir yang menyambar dan gemuruh guntur, sesosok yang tinggi dan gagah memasuki ruangan secara terburu.

Shirona mendongak, mendapati wajah murka ayahnya yang pasti disebabkan mengenai kedisiplinan atau sejenisnya.

"Akashi Shirona!" satu oktaf dinaikkan, "Apa yang membuatmu terlambat, sampai-sampai aku harus menunggumu?! Begitu memalukan, sama sekali tidak mencerminkan seorang Akashi yang bermartabat!"

Bergetar makin hebat, Seijuro menggertakkan gigi. Diliriknya sang adik yang gemetaran, namun masih mendengarkan bahkan mungkin menyimak.

"Otou-sama, yamete."

Delusi yang melayangkan pikiran Shirona, bagai membentuk jurang diantaranya dan Seijuro yang bahkan sedang duduk berdekatan.

"Jelaskan, Akashi Shirona!"

Tanpa diduga Shirona menarik Seijuro dan perlahan memeluknya, Seijuro kira adiknya melakukan itu sebab kedinginan. Nyatanya, ia merasa tengah tercengkeram oleh sesuatu tak kasat mata.

Lalu, Shirona mulai menangis. Ia mencoba menahannya, namun ia gagal, dan terisak.

Terperanjat lantaran reaksi Shirona, Seijuro menoleh tajam pada Masaomi yang kelihatan sedikit bersalah.

"Cukup, Otou-sama. Dengan beberapa minggu terakhir, aku bisa yakin bahwa Shiro mengidap gangguan mental, entah apa itu." bentak Seijuro—meskipun ia tau itu tidak senonoh.

Isu psikologi, masalah yang disinggung Seijuro barusan menggugah nafsu ayahnya dalam ajang meremehkan.

"Itu tidak benar, dia cuma sedang pada masa pubertas dan terlalu emosional. Kau cukup menemaninya, dan Shirona akan membaik." Sanggah Masaomi, berjalan mendekat.

Seijuro mencela, "Kau tak bisa mendiagnosis gangguan mental dan langsung memberi solusi murahan begitu saja."

Seijuro semakin geram, tadinya ia ingin menghardik dan memusatkan segala kesalahan pada ayahnya, tapi ia memikirkan kembali renungannya.

"Sistem pembelajaranmu yang memberatkan, bersifat destruktif pada perkembangan dan pola pikirnya. Ia bukan dari lingkungan yang sama denganku dari awal, ada perbedaan signifikan bagaimana ia akan menerima segala pembelajaran yang engkau berikan, Otou-sama."

Seijuro menggeram, nyaris kehilangan kontrol amarahnya.

Isakan Shirona semakin jelas, dan saat guntur kembali bergemuruh ia menjerit, mengeratkan pelukannya pada Seijuro.

"Ayo pergi ke psikiater, bersama-sama." ajak Seijuro, berbisik lembut.

Shirona awalnya merasa sesak—sulit berespirasi—lama kelamaan sensasi panas menyelimuti tubuhnya. Badannya serasa terbakar juga getaran hebat mengguncangnya. Seakan kalor transendental itu berusaha meremukkannya hingga ke serpihan terkecil.

Masaomi yang tidak lagi merasa itu merupakan sandiwara, mulai sedikit berkeringat dingin.

Shirona melepas pelukan dan melihat tangannya gemetaran, tapi pada saat itu ia tidak merasa sedang melihat tangannya. Dalam sekejap mata, dunia mengelabu. Kemudian peluh menetes, berbarengan dengan air mata.

Shirona mencekik lehernya sendiri, menolak ditenggelamkan oleh ilusi ke dalam banjir air mata yang menggenangi nayanika.

"Nii-san, hiks... onegai... tatsukete- hiks.. kudasai.."

°
°
°

*Her last words oleh Courtney Parker

–naru

-ˋˏ [KnB] ˎˊ₊· ͟͟͞͞➳A.seijuro [✔]Where stories live. Discover now