If We Break for the Last Time : Chapter 13. Mengartikan Kepercayaan

1.2K 108 2
                                    

A/N : Vote dulu ya sebelum membaca


Tidak ada yang berbeda.

Tidak ada sambutan apa pun dari Dirga, bahkan bertanya di mana Atlanta selama ini pun ia tidak. Meja makan hanya didominasi oleh perbincangan hangat antara Rebecca dan Dirga. Banyak hal yang mereka bicarakan bahkan untuk sesuatu yang tidak penting—mungkin lucu, hingga akhirnya mereka tertawa. Kepulangan Rebecca amat memancarkan aura kebahagiaan untuk Dirga.

Sarapannya terasa hambar. Namun, Atlanta tetap bertahan duduk di tempatnya meskipun hanya mengaduk-aduk makanan tanpa selera.  Mungkin akan ia tinggalkan begitu saja jika dirinya tak ada niat untuk memperbaiki semuanya. Jangan egois! Adalah kalimat yang selalu Atlanta ingat jika dirinya perlahan dirasuki oleh emosi.

Mayang hanya bisa diam sambil memandang ke arah Atlanta. Juga Rebecca yang seolah mengerti bagaimana perasaan Atlanta saat ini. Gadis itu mengambil air putih lalu menambahkannya pada gelas Atlanta yang sudah hampir tandas. "Cie yang pagi ini seragamnya rapi banget." niat Rebecca mencairkan suasana ternyata sukses memancing perhatian Dirga. Pria itu menatap pada Atlanta yang berpenampilan sangat rapi. "Sebenarnya dari kemarin sih, Pah. Caca aja kaget pas lihatnya. Tapi good At. Lo kelihatan lebih ganteng," sambungnya mengacungkan dua jempol.

Atlanta hanya tersenyum tipis. Masih memperhatikan reaksi Dirga yang kembali biasa-biasa saja. Padahal Atlanta berharap Dirga akan menyambut perubahan positifnya, tapi kelihatannya itu tidak ada pengaruhnya sama sekali. Dirga cuek saja, tidak berkomentar apa-apa. Jujur, itu membuat Atlanta kecewa namun tidak sampai mematahkan semangatnya.

Dirga menyudahi sarapannya ketika sebuah panggilan masuk ke nomor ponselnya. Pria itu menjauh menerima panggilan tersebut. Atlanta memandang penuh amarah, itu pasti dari selingkuhan Dirga. Kursi sudah di dorongnya hendak segera berdiri namun Mayang menahannya agar tidak ikut campur. "Kalau kamu mau Papa kembali. Kamu rebut hatinya bukan memisahkan dia dari wanita idamannya." Mayang mengusap rambut Atlanta sebelum akhirnya beranjak lebih dahulu.

Rebecca kini berpindah ke sisi Atlanta memberikan sebuah note kecil yang ditulisnya sendiri. "Ini semua hal tentang Papa. Kesukaannya dia, dan apa aja yang dia nggak suka. Mungkin lo butuh ini buat dekat sama Papa."

"Gue nggak yakin."

"Lo nggak akan pernah tahu hasil dari sesuatu sampai lo berani memulai." Dimasukkannya note tersebut ke dalam saku seragam Atlanta. "Nggak ada batu yang terlalu keras buat dipecahin, At. Gue yakin lo pasti bisa."

***

Deretan angka yang tercetak di buku paket membuat mata serasa berkunang-kunang belum lagi penjelasan dari guru matematika yang terkesan bertele-tele mengaktivkan mode ngantuk bersama di pagi hari.

Di luar sedang mendung. Awan hitam sudah mulai berpegangan saling mengeratkan satu sama lain membuat pagi menjadi gelap. Ditambah embusan angin yang masuk melalui jendela—siswa yang tadinya ngantuk sekarang sudah menjelajah ke dunia mimpi.

Kursi di sebelah Melia kosong. Rama tidak masuk sekolah tanpa kabar. Sejak tahu kalau Melia dan Atlanta balikan gadis itu terkesan menjauh membuat Melia bingung. Setiap diajak bicara atau dihubungi via telepon ia selalu mencari alasan supaya pembicaraan berakhir. Melia berusaha membuat Rama mengerti kalau perasaannya pada Darren tidak bisa seperti dulu lagi dan Atlanta tidak seburuk yang ada dalam pikirannya. Semuanya tidak bisa dipaksakan. Kalau memang Rama tidak suka Atlanta setidaknya jangan menjauhi Melia.

Apa sedangkal itu Rama mengartikan persahabatan mereka?

Suara bel menjerit sampai ke penjuru kelas membuyarkan lamuman Melia. Menutup buku pelajaran gadis itu bangkit mendorong kursinya ke belakang ikut berbaris mengantre bersalaman dengan guru sebelum keluar kelas.

If We Break for the Last Time [Completed]Where stories live. Discover now