Tidak berdaya

1K 19 0
                                    

   Matahari mulai terbit, perlahan sinar matahari masuk lewat celah - celah kaca. Dengan mengerjap - erjap mata Annaya mulai terbuka. Ia melihat ke sekeliling. Sial! Semalam itu bukan mimpi. Annaya menggerutu dalam pikirannya.

   Setelah jiwanya terkumpul, Annaya bermaksud bangkit dan berniat untuk kabur. Namun lagi-lagi tubuhnya ambruk. Kepalanya pusing juga sekujur tubuhnya terasa sangat lemas. Namun ia tidak menyerah begitu saja. Annaya mencari cara lain dengan mengesot mendekati jendela berukuran besar, cukup untuk tubuhnya keluar dari kamar sialan ini, pikirnya. Namun tidak semudah itu, sudah diduga jendela ini dikunci. Maka dengan sembarang Annaya ambil barang untung melancarkan aksinya itu, dan di atas meja terdapat vas bunga. Langsung saja ia mengambil vas bunga tersebut.

Branggg!!! Suara kaca menggema.

Annaya tidak punya banyak waktu, ia harus pergi sebelum ada yang datang. Walau dengan tubuh tertatih ia berhasil keluar kamar dan berjalan menuju balkon kamar. Balkonya cukup luas hingga ia binggung harus ke arah mana.

Kesana - kemari ia mencari jalan keluar, dapat terlihat dari jejak kaki yang dihasilkannya karena meninggalkan noda darah dimana-mana. Noda darah dari kakinya yang terluka akibat serpihan kaca yang tanpa sadar ia injak karena terburu-buru ingin melarikan diri.

Kemudian ia menemukan ujung balkon yang bagian bawahnya mengarah ke parkiran, namun bagaimana caranya Annaya turun kebawah? Tidak ada halang-halang penghubung lantai dengan lantai yang lainnya. Apa dia harus loncat? Dengan jarak berkisar 10 lantai bagaimana mungkin ia bisa selamat jika loncat? Yang ada tubuhnya akan patahan bahkan mati seketika.

Dalam kebingungannya Annaya mengacak-acak rambutnya sendiri. Dan tiba-tiba muncul suara dari arah belakang yang sangat mengagetkan bagi dirinya.

"Ayo lanjutkan, tunggu apa lagi?" Annaya menoleh kearah datangnya suara. Suaranya sungguh berhasil buat Annaya merinding ketakutan. Tapi Annaya tidak boleh memperlihatkannya.

Pria itu berjalan mendekati Annaya. Tiap langkahnya membuat detak jantung Annaya semakin kencang berdegup. Meski dengan udara pagi yang dingin, tubuh Annaya tiba-tiba saja banjir dengan keringat.

Setelah diam beberapa saat Annaya mulai bersuara. "Cu..cukup! Jangan mendekat." Dengan suara yang sedikit terbata-bata.

Pria dihadapannya tidak menghiraukannya. Kini Annaya hanya berjarak 3 langkah saja dari pria di hadapannya. Lututnya mulai bergetar namun sekuat tenaga Annaya bertahan, ia tidak ingin terlihat lemah.

"Kenapa tidak dilanjutkan?" Katanya dengan tatapan meremehkan. "Apa mungkin kau butuh bantuan?" Tambahnya.

Annaya tidak bergeming. Lidahnya tiba-tiba kelu saking takutnya. Pria itu semakin mendekat.

Melihat tidak ada jawaban dari Annaya, pria itu tiba-tiba saja mendorong tubuh Annaya dengan kasar. Hingga tubuh Annaya yang lemah berhasil keluar dari dinding balkon yang tingginya hanya sepinggang orang dewasa.

Tubuh Annaya terpelanting kebawah. Namun tangan pria itu memegang tangan Annaya, yang hampir saja mati jika saja pria itu tidak memegang tangannya.

Mata Annaya terbelalak melihat ke arah bawah. Ia tidak menyangka pria dihadapannya bisa melakukan hal senekat ini. "Tolong... tolong aku." Annaya berpegang erat pada tangan pria itu. "Aku mohon jangan lepaskan aku."

Pria itu tersenyum menjijikan. "Bukannya tadi lo ingin loncat?"

"Tidak, aku tidak ada niatan untuk itu sedikitpun. Tolong selamatkan aku." Annaya memelas sejadinya.

"Alahh.. lo pikir, gue ini buta?" Bentaknya. "Kalo lo emang ingin mati, gue bakal kabulin sekarang juga." Pria itu sedikit merekangkan tangannya.

ANNAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang