BAB 6

26 10 0
                                    

Siena dikagetkan dengan kemunculan Daffa di garasi sembari menenteng tas kerjanya. Pria itu pun sama-sama terkejutnya. Mungkin ia mengira Siena sudah berangkat duluan padahal istrinya itu sedang memanaskan motor sembari mengecek media sosialnya. Siena yang sadar situasi segera memasukkan ponselnya ke dalam tas dan membawa motornya keluar dari garasi.

Pasalnya ia memarkir motornya di sisi kanan mobil Daffa sehingga menghalangi pria itu masuk ke mobilnya sendiri. Daffa sudah duduk di balik kemudi dan men-starter mobilnya. Lama pria itu di sana, mungkin memanaskan mesin mobilnya terlebih dahulu. Kaca mobil yang berwarna gelap menyusahkan Siena untuk melihat apa yang sedang dikerjakan pria itu.

Siena yang sudah selesai dengan urusan panas memanas, segera membawa motornya keluar dari halaman. Hampir pukul enam saat itu. Kebiasaan Siena setiap harinya yaitu berangkat di pagi buta di saat Daffa sendiri masih terlelap.

Tetapi hari ini ia dibuat heran dengan kemunculan pria itu di garasi pagi-pagi sekali. Biasanya Daffa akan tiba di hotel pukul delapan. Itupun kalau memang ada rapat penting paginya.

Sepanjang perjalanan Siena sibuk bertanya pada dirinya sendiri, apakah Daffa sudah tahu perihal Jessica yang menginap di hotelnya semalam?

Perasaan cemas itu kembali menghinggapinya. Siena tanpa sadar mencengkeram setang motornya sendiri. Perasaannya berkecamuk tak karuan. Jika Jessica berada di hotelnya sepanjang hari, apakah Daffa juga akan semakin lama berada di sana?

Ah, memikirkannya saja membuat kepalanya sakit. Siena sengaja menghentikan motornya di warung makan kecil pinggir jalan dan turun dari sana.

"Pesan apa, Mbak?" Pelayannya berteriak dari balik gerobak bahkan sebelum kaki Siena menyentuh pintu warung tersebut. Ia berlari menyambut Siena di pintu warung, pelanggan pertamanya pagi ini.

"Ah, ada kopi, Bu?"

"Ada. Mari masuk." Wanita itu menatap Siena dengan senyum cerah. Siena menyusul wanita tersebut masuk ke dalam warung.

"Ini, Mbak, pesanannya,"

Siena mendongak dan tersenyum. "Makasih, ya, Bu."

Ia menatap kopi hitam yang tersaji di atas meja dengan tatapan menerawang. Pikirannya kembali ditarik ke masa lalu, pada kejadian yang sudah tidak ingin ia ingat kembali.

"Lo suka kopi, Sen?" tanya Puspa ketika Siena mendatangi meja kantin sembari membawa segelas kopi hitam. "Tumben banget. Sejak kapan?"

"Akhir-akhir ini gue susah tidur,"

Olivia menatap gelas kopi milik Siena sebelum tatapannya beralih pada meja di ujung kantin. "Lo bukan suka karena Daffa suka kopi, kan?"

Pertanyaan tersebut sukses membuat Siena tersedak minumnya sendiri. "Enggaklah!"

Renata mendengkus. "Gak pintar bohong lo, Bego."

"Udahlah. Jujur aja sama kita," ujar Renata. "Gak apa-apa. Lo kayak sama siapa aja."

Siena melirik ke meja tempat Daffa duduk lalu pada gelas di tangannya. "Tadi iseng aja mesan ini pas gue lihat Daffa juga minum kopi. Tapi rasanya enak, kok. Kayaknya gue bakalan suka."

Siena menggenggam gelas kopi tersebut dan menyesapnya sedikit, untuk sekadar mengingatkannya pada rasa kopi yang hampir sama dengan kopi buatan ibu kantin. Ketika minum kopi, kenangan-kenangan yang sudah berusaha Siena hilangkan muncul bagai kaset rusak di ingatannya. Padahal segala kenangan itu sudah berusaha Siena hapus.

"Mau ditambah kopinya, Mbak?"

Siena terkejut dari lamunannya dan baru sadar bahwa kopi di gelasnya sudah habis. Ia melihat jam tangannya dan menghela napas. Ternyata hanya duduk di sana sambil minum kopi dan melamun bisa menghabiskan tiga puluh menit waktunya.

Hidden MarriageWhere stories live. Discover now