BAB 9

26 1 0
                                    

Siena meletakkan tas kerjanya ke kursi lalu masuk ke ruang ganti untuk mengganti pakaiannya. Ia berangkat dari rumah dengan pakaian santai karena kemarin stelan kerjanya ia titipkan ke laundry dan baru diantar pagi ini ke hotel. Hal ini sudah menjadi kebiasaannya sejak pertama kali bekerja di sini. Siena tidak ingin merepotkan Hariana dengan harus mencuci pakaian untuknya. Menjadi istri Daffa bukan berarti Siena adalah nyonya rumah seutuhnya di sana. Meskipun berulang kali Hariana menawarkan diri untuk membantu, Siena selalu menolaknya dengan sopan. Alasannya sederhana, ia tidak ingin Hariana terkena imbasnya. Siena hanya ingin Hariana melayani Ivanka dan Daffa saja karena wanita itu bekerja untuk mereka, bukan untuk Siena. Lagipula untuk urusan pekerjaan rumah, Siena bisa melakukan semuanya sendiri.

Seperti pagi ini, ia bangun 30 menit lebih awal dari Hariana untuk membuat sarapan paginya. Siena memasak nasi dan opor ayam yang ia beli kemarin sore di supermarket. Karena sudah lama sekali ia tidak memasak opor. Siena rindu memasak opor di rumahnya sendiri dan melihat bagaimana kedua adiknya saling berebutan. Papa salah satu orang yang menyukai masakan Siena.

"Masak apa, Bu?"

Siena menoleh dan tersenyum. "Masak opor, Bi," jawabnya, "ini kebetulan saya masaknya banyak. Jadi bibi bisa masak nasi aja. Sarapan pagi mama sama Daffa pakai ini aja."

"Wah, makasih banyak, ya, Bu." Hariana tampak bersemangat ketika bergerak untuk memasak nasi. "Pekerjaan bibi jadi terbantu sedikit kalau Ibu sudah ikut masak di dapur."

"Iya, Bi, sama-sama." Siena terkekeh.

Setelah dirasa aroma opor ayamnya mulai mewangi, menguar memenuhi isi dapur, Siena mematikan kompornya dan memindahkan isinya ke mangkok saji. Ia mengambil sedikit untuk dirinya lalu sisanya ia letakkan ke meja makan. Jam dinding di ruang makan masih pukul 6 pagi itu, artinya Yunada akan bangun 30 menit lagi.

Daffa pasti sudah bangun. Jadi Siena segera menyantap makan paginya diam-diam di dapur sebelum naik ke kamarnya untuk bersiap-siap.

"Nah, melamun pagi-pagi kayak gak ada pekerjaan lain aja. Noh, lihat, si gagak aja udah duduk manis di kursinya. Ciri-ciri yang mau kena damprat, ya, yang kayak gini, nih!"

Suara melengking khas seorang Fira memekik di telinganya. Siena terperanjat dan hampir saja mengeluarkan umpatannya jika saja ia tidak melihat Mariam yang tengah serius memerika layar laptopnya di sisi ruangan lain. Dandannya hari ini sungguh aneh. Pakaian serba hitam, lipstik hitam dan juga syal hitam yang melilit di lehernya. Pantas saja Fira memanggilnya burung gagak.

"Melamun apa, sih?" tanya Fira.

"Eh, Fir." Siena mendekat dan melirik ke sekitar, memberi isyarat kepada Fira untuk ikut mencongdongkan tubuhnya merapat pada Siena.

"Apa apa apa apa..." Fira berkata tak sabar.

"Lo lihat Daffa masih ngobrol sama Rangga di kafetaria?"

"What?!" Fira memekik tertahan. "Lo serius? Kapan? Maksud gue... why? Kenapa? Mereka, kan, gak dekat-dekat amat untuk bisa ngobrol bareng."

"Nah, itu gue juga bingung."

Fira tampak berpikir sesaat. "Bisa aja, Sen. Kan, mereka sama-sama pebisnis. Siapa tahu aja ini urusan bisnis, kan? Posthink, posthink, beb, jangan cemas. Tenang..."

Siena mendengus. "Daffa yang ngajak duluan."

"Lo becanda," ujar Fira tak yakin. "Masa iya, sih? Gue sama lo kenal banget sifat laki lo ini. Gak mungkin, Sen."

"Gue serius, Firaaaa..." Siena jadi gemas sendiri. Posisi kantor yang sudah ramai membuatnya kesusahan untuk menaikkan volume suaranya. "Tadi gue ketemu sama Rangga di depan, pas banget ada Daffa di situ. Si Rangga nyapa dia, eh, Daffa malah ngajak Rangga minum kopi."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 05 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Hidden MarriageWhere stories live. Discover now